Reklamasi Pulau Biawak Hancurkan Ekosistem Mangrove dan Terumbu Karang

REKLAMASI di Pulau Biawak, bagian dari gugusan Pulau Pari di Kepulauan Seribu, kembali menjadi sorotan tajam. Proyek yang dilakukan oleh PT CPS ini memicu kerusakan lingkungan serius, mulai dari pembabatan 40 ribu pohon mangrove hingga penghancuran ekosistem terumbu karang dan padang lamun di area seluas 62 meter persegi.

Mangrove yang rusak merupakan hasil kerja keras warga setempat selama tiga tahun untuk mencegah abrasi dan banjir rob. Kejadian ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana reklamasi seperti ini bisa terus berlangsung tanpa pengawasan ketat?

Kementerian Lingkungan Hidup Bergerak

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Rasio Ridho Sani, memastikan langkah tegas akan diambil. Menurutnya, pihak kementerian tengah mendalami dampak lingkungan akibat proyek ini serta mengevaluasi kemungkinan penegakan hukum terhadap pelaku.

“Kami sedang bekerja sama dengan para ahli untuk meneliti dampak yang terjadi. Negara harus hadir untuk melindungi lingkungan dari pencemaran maupun kerusakan,” ujar Rasio dalam pernyataannya, Jumat (24/1).

Baca juga: Regulasi Reklamasi, Ancaman Lingkungan atau Peluang Ekonomi?

Penggalian data ini tidak hanya akan berhenti di Pulau Biawak. KLHK juga akan mengevaluasi kondisi di lokasi lain di sekitar Pulau Pari yang diduga mengalami kerusakan serupa.

Suara Warga dan Harapan Pemulihan

Kerusakan ekosistem di Pulau Biawak awalnya terungkap dari laporan masyarakat setempat. Warga, yang selama bertahun-tahun menjaga kelestarian mangrove dan terumbu karang, merasa kehilangan besar akibat pengerukan dan reklamasi yang merusak.

Baca juga: Mengalihkan Utang untuk Melindungi Terumbu Karang Indonesia

“Pemerintah harus hadir, bukan hanya untuk memberikan sanksi, tetapi juga memulihkan ekosistem yang rusak,” ujar seorang warga Pulau Pari. Harapan ini diamini oleh Deputi Penegakan Hukum KLHK, Rizal Irawan. Ia menyatakan bahwa Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, telah memerintahkan penghitungan kebutuhan pohon mangrove yang harus ditanam ulang sebagai langkah pemulihan.

“Kami sedang menghitung jumlah pohon mangrove yang diperlukan untuk memulihkan lingkungan ini. Ini menjadi prioritas kami,” tegas Rizal.

Mangrove dan Terumbu Karang, Penjaga Bumi yang Terancam

Kerusakan mangrove dan terumbu karang bukan hanya isu lokal, tetapi juga ancaman global. Mangrove memiliki peran vital dalam mencegah erosi pantai, menyerap karbon, dan melindungi wilayah pesisir dari badai. Sementara itu, terumbu karang adalah rumah bagi jutaan spesies laut dan menjadi bagian penting dalam rantai makanan laut.

Baca juga: Mangrove, Penjaga Garis Pantai yang Kian Tergerus

Kehilangan mangrove dan terumbu karang di Pulau Biawak tidak hanya berdampak pada ekosistem lokal, tetapi juga mengganggu keseimbangan lingkungan secara lebih luas. Selain itu, upaya reklamasi yang melibatkan pengerukan laut sering kali memicu sedimentasi yang merusak habitat laut.

Tim KLH melakukan pemeriksaan atas kerusakan terumbu karang di Pulau Biawak, Kepulauan Seribu, Kamis (23/1/2025), sebagai bagian dari investigasi dampak reklamasi. Foto: Antara.

Penegakan Hukum dan Tantangan Masa Depan

Kasus Pulau Biawak menjadi ujian serius bagi KLHK dalam membuktikan komitmen perlindungan lingkungan. Penegakan hukum terhadap perusahaan pelaku reklamasi perlu dilakukan dengan tegas, termasuk menerapkan sanksi administratif maupun pidana. Namun, lebih dari itu, pengawasan lingkungan harus diperkuat sejak awal agar kasus serupa tidak terulang.

Baca juga: Mangrove, Solusi Alami Hemat $855 Miliar untuk Banjir

Dalam jangka panjang, pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk mengutamakan pembangunan berkelanjutan yang tidak mengorbankan ekosistem. Investasi dalam rehabilitasi lingkungan juga harus menjadi prioritas untuk mengembalikan keseimbangan yang telah hilang.

Reklamasi, Memperbaiki atau Merusak?

Pulau Biawak kini menjadi cermin bagi praktik reklamasi di Indonesia. Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah, apakah reklamasi benar-benar diperlukan jika konsekuensinya adalah kehancuran lingkungan yang lebih besar? Keberlanjutan pembangunan hanya dapat dicapai jika alam dilibatkan sebagai mitra, bukan korban.

Baca juga: Pemagaran Laut Tangerang, Ancaman bagi Nelayan dan Ekosistem

Masyarakat, praktisi, dan pemerhati isu lingkungan kini menantikan langkah nyata pemerintah. Pemulihan Pulau Biawak tidak hanya tentang menanam kembali mangrove, tetapi juga membangun kesadaran kolektif bahwa perlindungan lingkungan adalah tanggung jawab bersama. ***

  • Foto: Ilustrasi/ pulau-seribu.com – Reklamasi di Pulau Biawak, Kepulauan Seribu, menjadi sorotan akibat dampaknya pada ekosistem pesisir.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *