Gaya Hidup Laki-laki Lebih Membebani Bumi

DALAM dunia yang tengah berpacu melawan krisis iklim, sebuah studi baru kembali menegaskan bahwa perubahan besar sering kali bermula dari kebiasaan sehari-hari. Kali ini, bukan hanya jenis makanan atau moda transportasi yang jadi sorotan, tapi juga identitas gender

Penelitian gabungan dari London School of Economics dan Institut Polytechnique de Paris mengungkapkan temuan mencolok: laki-laki menghasilkan emisi karbon 18 persen lebih tinggi daripada perempuan, bahkan setelah dikoreksi oleh faktor pendapatan, pekerjaan, dan jumlah anggota rumah tangga.

Studi ini melibatkan lebih dari 15.000 responden dan menganalisis pola konsumsi mereka, mulai dari makanan hingga cara bepergian. Hasilnya mengejutkan, tetapi sekaligus membuka diskusi penting tentang hubungan antara gender dan tanggung jawab lingkungan.

Daging Merah dan Mobil, Kombinasi Beremisi Tinggi

Dua faktor utama yang mendorong kesenjangan emisi ini adalah pilihan konsumsi daging merah dan penggunaan kendaraan pribadi. Laki-laki lebih sering mengonsumsi daging merah—produk yang hanya menyumbang 13 persen dari total konsumsi, tetapi bertanggung jawab atas 70 persen kesenjangan emisi makanan antara gender.

Baca juga: Jejak Karbon Orang Kaya, 10% Picu 65% Pemanasan Global

Dalam urusan mobilitas, laki-laki juga lebih sering berkendara sendiri dan memilih kendaraan yang boros bahan bakar. Ini menjadi penyumbang utama dalam kesenjangan emisi sektor transportasi. Berbeda dengan perempuan, yang cenderung memilih moda transportasi yang lebih efisien atau berbagi kendaraan.

Maskulinitas dan Budaya Konsumsi

Temuan ini juga menggali akar kultural dari pola konsumsi beremisi tinggi. Studi ini menyoroti adanya keterkaitan antara maskulinitas dan preferensi terhadap gaya hidup yang menghasilkan emisi besar, seperti mengemudi mobil besar atau makan daging dalam jumlah besar. Pilihan ini sering kali dikaitkan dengan status sosial atau simbol kekuasaan.

Fenomena ini tidak hanya berlaku di negara maju, tetapi juga relevan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam konteks lokal, konsumsi daging yang terus meningkat dan penetrasi kendaraan pribadi yang makin luas memperkuat jejak karbon nasional.

Ketimpangan Risiko, Perempuan Lebih Rentan

Ironisnya, meskipun laki-laki menyumbang lebih banyak emisi, perempuan justru lebih terdampak oleh krisis iklim. Di negara-negara berpenghasilan rendah, perempuan memiliki akses yang lebih terbatas terhadap sumber daya, tanah, dan pengambilan keputusan saat terjadi bencana iklim.

Baca juga: Ironi Private Jet, Emisi Besar dari Segelintir Orang Kaya

Laki-laki cenderung lebih sering berkendara sendiri dengan kendaraan boros bahan bakar—kebiasaan yang memperbesar jejak karbon harian mereka. Foto: Ilustrasi/ Mike Bird/ Pexels.

Data dari PBB menyebutkan bahwa perempuan dan anak-anak memiliki risiko 14 kali lebih besar untuk meninggal dunia akibat bencana iklim. Mereka juga merupakan sekitar 70 persen dari populasi pengungsi akibat bencana tersebut. Peran gender, mobilitas terbatas, serta tanggung jawab sebagai pengasuh menjadi faktor yang memperparah kerentanan ini.

Perspektif Baru untuk Aksi Iklim

Studi ini menyodorkan pelajaran penting bagi praktisi keberlanjutan dan pembuat kebijakan: aksi iklim perlu mempertimbangkan dimensi gender secara serius. Solusi iklim tidak cukup hanya berorientasi pada teknologi atau ekonomi. Pola konsumsi dan norma sosial juga perlu ditantang dan diubah.

Baca juga: Bos Patagonia: Bumi Pemegang Saham Kami Satu-satunya

Mendorong gaya hidup rendah emisi di kalangan laki-laki, melalui kampanye budaya dan regulasi konsumsi, bisa menjadi strategi yang efektif. Di sisi lain, memperkuat ketahanan perempuan melalui akses terhadap sumber daya dan representasi dalam pengambilan keputusan akan memperkecil risiko ketimpangan akibat krisis iklim.

Di tengah berbagai upaya menuju transisi hijau, satu hal menjadi jelas: krisis iklim bukan hanya soal karbon, tapi juga soal keadilan. Dan gender adalah salah satu wajah nyata dari ketimpangan itu. ***

  • Foto: Ilustrasi/ Pexels – Laki-laki lebih sering mengonsumsi daging merah—meski porsinya kecil, daging ini menyumbang 70 persen kesenjangan emisi makanan antar gender.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *