Bertahun-tahun Nilam Aceh Diekspor, tapi Petaninya Tetap Tertinggal

NILAM Aceh sudah lama harum di dunia. Komoditas ini menyuplai lebih dari 90 persen kebutuhan minyak nilam global yang digunakan dalam parfum, kosmetik, dan aromaterapi. Namun di balik gemerlap ekspor, nasib petani nilam di daerah asalnya masih jauh dari sejahtera.

Kesenjangan inilah yang menjadi inti disertasi Sofia Keumalasari, akademisi muda yang baru saja meraih gelar Doktor Ilmu Pertanian dari Sekolah Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (USK). Ia lulus dengan predikat Sangat Memuaskan setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Model Pengembangan Rantai Pasok Keberlanjutan Perkebunan Nilam Rakyat Menggunakan Pendekatan Manajemen Risiko di Provinsi Aceh.”

Penelitian Sofia bukan sekadar kerja akademik. Ia memetakan krisis rantai pasok minyak nilam dan menawarkan model solusi berbasis manajemen risiko dan sistem dinamik. Sebuah pendekatan yang langsung menyasar jantung persoalan agribisnis rakyat di Aceh.

Krisis di Balik Wangi Nilam

Penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten sentra penghasil nilam, yakni Aceh Jaya, Aceh Selatan, dan Gayo Lues. Di lapangan, Sofia bertemu petani kecil yang menyuling nilam dengan tungku kayu bakar. Bukan karena pilihan, tapi karena mereka belum punya akses ke teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, menghadiri pelepasan ekspor minyak nilam ke Prancis yang digagas Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala. Ekspor ini merupakan hasil kolaborasi PT U Green Aromatic International dan Garuda Indonesia, Minggu, 13 April 2025. Foto: Dok. Diskominfo Banda Aceh.

Sementara itu, banyak dari mereka mengeluhkan sulitnya menjual hasil panen. Agen penampung sangat terbatas, membuat petani tak punya kekuatan tawar yang cukup. Harga ditentukan oleh pasar, tapi informasi pasar tidak pernah sampai ke tangan petani.

Nilam-nilam itu akhirnya dijual dalam bentuk mentah, dikirim ke luar daerah bahkan luar negeri, tanpa sempat disentuh inovasi lokal. Hampir tidak ada produk turunan yang lahir dari desa. Potensi nilai tambah yang besar justru terbang keluar dari Aceh.

Baca juga: Masa Depan Bertani Ada di Tangan AI dan Robot

Lebih jauh lagi, Sofia melihat bahwa praktik budidaya pun belum optimal. Petani masih bergantung pada pola tanam turun-temurun. Pemupukan dilakukan seadanya, tanpa panduan teknis yang berbasis riset. Akibatnya, kualitas dan kuantitas hasil panen kerap tak menentu, dan itu berdampak langsung pada keberlangsungan rantai pasok.

Dari Risiko ke Rencana Aksi

Dengan pendekatan House of Risk (HOR) dan Multidimensional Scaling (MDS), Sofia mengidentifikasi titik-titik rawan dalam rantai pasok dan mengusulkan intervensi yang bersifat sistemik. Ia merancang model sistem dinamik yang menempatkan koperasi dan perusahaan daerah sebagai simpul utama. Dari konsolidasi hasil panen, proses penyulingan yang lebih efisien, hingga pengembangan produk hilir berbasis minyak nilam.

Baca juga: Tak Banyak yang Tahu, Daun Jeruk Jadi Komoditas Ekspor Bernilai Tinggi

“Penelitian ini memberi arah baru bagi pembangunan agribisnis di Aceh,” ujar Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, promotor Sofia. Ia menilai model ini aplikatif dan dapat direplikasi untuk komoditas lain yang menghadapi tantangan serupa.

Proses penyulingan minyak nilam di Aceh masih didominasi penggunaan kayu bakar. Praktik ini tak hanya mengancam keberlanjutan lingkungan, tapi juga mencerminkan tantangan dalam mendorong produksi atsiri yang ramah iklim. Foto: Instagram/ @bejirihkudai.

Dari Ladang ke Kebijakan

Sofia menyadari bahwa petani tak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Dalam model yang ia kembangkan, pemerintah daerah memegang peran penting sebagai fasilitator. Disertasi ini merekomendasikan peningkatan kapasitas petani melalui pelatihan budidaya dan perawatan tanaman yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim. Ia juga menekankan pentingnya produksi pupuk organik berbasis lokal untuk menjaga kesuburan tanah secara berkelanjutan.

Baca juga: Serangga, Penyelamat Keberlanjutan Pertanian Indonesia

Tak kalah penting, inovasi produk turunan harus didorong agar nilai tambah tetap tinggal di tingkat lokal. Untuk itu, akses modal dan regulasi agribisnis yang berpihak pada rakyat menjadi syarat mutlak.

Warga menyuling tanaman nilam menjadi minyak secara tradisional di Desa Pungki, Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat. Metode ini masih bergantung pada kayu bakar, menyoroti kebutuhan mendesak akan teknologi ramah lingkungan dalam industri minyak atsiri. Foto: Instagram/ @yulham_eon.

Dalam situasi ketidakpastian iklim dan krisis komoditas, karya Sofia layak menjadi referensi bagi pemerintah daerah, lembaga riset, hingga pelaku agribisnis. Nilam Aceh tak lagi cukup harum di pasar global. Nilam Aceh harus juga berkelanjutan di rumah sendiri, mulai dari praktik budidaya hingga struktur kelembagaan yang inklusif.

Karena pada akhirnya, keberlanjutan sejati tak bisa ditegakkan tanpa keadilan untuk petani, mereka yang selama ini menanam, menyuling, dan menjaga nilam tetap hidup—sering kali tanpa jaminan penghidupan yang layak. ***

  • Foto: Instagram/ @panennilam – Daun nilam hasil panen diangkut menggunakan sepeda motor menuju lokasi penyulingan di Aceh. Proses penyulingan tersebar di sejumlah kabupaten, seperti Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Aceh Besar, Aceh Selatan, dan Aceh Tengah. Rantai produksi penting dalam industri minyak nilam yang kini didorong lebih berkelanjutan.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *