Krisis Hutan Tropis Bisa Picu Pemanasan Global Abadi

APA jadinya jika bumi kehilangan paru-parunya? Jawabannya bukan sekadar krisis lingkungan, melainkan bencana global yang berlangsung jutaan tahun.

Sebuah studi baru dari jurnal Nature Communications memperingatkan, jika hutan tropis seperti Amazon dan Asia Tenggara runtuh akibat deforestasi dan krisis iklim, dunia bisa menghadapi pemanasan global permanen. Bahkan jika emisi manusia berhenti total.

Temuan ini bukan sekadar prediksi. Para ilmuwan menilik masa lalu bumi, tepatnya 252 juta tahun silam, saat letusan vulkanik besar di Siberia memicu kepunahan massal terbesar. Lebih dari 90 persen spesies laut dan sebagian besar kehidupan darat lenyap. Namun yang mengejutkan, suhu bumi tetap ekstrem selama lima juta tahun setelah letusan berhenti.

Pelajaran dari Masa Lalu

Apa penyebabnya?

Tim dari Universitas Leeds dan China University of Geosciences menemukan jawabannya, kolaps total hutan tropis. Tanpa vegetasi, tidak ada mekanisme alami untuk menyerap karbon dioksida (carbon sequestration). Akibatnya, CO₂ menumpuk di atmosfer, memperkuat efek rumah kaca, dan menciptakan “efek domino” pemanasan ekstrem yang tak bisa dibalik.

Baca juga: Pemanasan Global 2°C Tak Terbendung, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Kini, dunia menghadapi ancaman yang sama. Deforestasi di Amazon dan Asia Tenggara meningkat. Lahan terbakar, tutupan pohon menyusut, dan tekanan pembangunan tak berhenti. Profesor Benjamin Mills, salah satu peneliti utama, mengingatkan, “Jika hutan tropis runtuh, iklim tak akan kembali seperti sebelum era industri. Bahkan, bisa lebih buruk.”

Waktu Pemulihan Bukan Puluhan Tahun

Peringatan ini bukan sekadar teori. Pemulihan karbon alami butuh jutaan tahun, bukan hitungan dekade kebijakan. Artinya, jika ambang batas atau climate tipping point terlewati, tak ada jalan kembali.

Hutan tropis menyimpan peran krusial dalam menjaga suhu bumi tetap stabil. Jika ekosistem ini runtuh, pemanasan global bisa berlangsung selamanya. Foto: Serg Alesenko/ Pexels.

Bagi Indonesia, salah satu negara megabiodiversitas dengan cadangan karbon besar di hutan tropis, peringatan ini harus jadi alarm keras. Perlindungan hutan tak bisa lagi ditempatkan sebagai proyek sekunder. Ini soal stabilitas iklim global dan masa depan generasi mendatang.

Baca juga: Pemanasan Global Ancam 40% Ekonomi Dunia, Siapa Bisa Selamat?

Pendekatannya pun harus berubah. Rehabilitasi hutan penting, tetapi tak cukup. Mencegah deforestasi jauh lebih strategis dan berdampak jangka panjang. Kita tak bisa hanya berharap pada offset karbon atau teknologi penangkap emisi. Solusi sejati adalah menjaga sistem iklim-karbon tetap utuh, sejak sekarang.

Jaga Sebelum Terlambat

Profesor Hongfu Yin menekankan bahwa paleoekologi modern, ilmu yang membaca jejak fosil dan iklim purba, bisa jadi alat peringatan dini. Dari sana, manusia bisa belajar bahwa krisis iklim bukan sekadar ancaman masa depan, tapi sudah pernah terjadi. Dan akibatnya bukan dalam hitungan tahun, tapi jutaan.

Baca juga: Okjokull, Gletser Pertama yang Mati Akibat Pemanasan Global

Pertanyaannya kini bukan hanya “seberapa cepat kita bisa menurunkan emisi?” Tapi, bisakah kita mencegah kehancuran sistem penyerap karbon terakhir yang kita punya?

Indonesia, dengan luas hutannya, memegang peran kunci. Pilihannya jelas, jadi benteng terakhir bumi, atau jadi saksi awal bencana permanen. ***

  • Foto: Ilustrasi/ Kritsada Seekham/ Pexels Tanah retak dan kering di bawah langit mendung menjadi gambaran nyata dampak krisis iklim. Jika hutan tropis runtuh, bumi bisa memasuki fase pemanasan permanen, meski emisi manusia dihentikan.
Bagikan