ADB Genjot Pinjaman Iklim Demi Masa Depan Asia

BANK Pembangunan Asia (ADB) mengumumkan langkah inovatif untuk meningkatkan pinjaman terkait iklim hingga USD 7,2 miliar (sekitar Rp 11,32 triliun), didorong oleh penjaminan dari Amerika Serikat dan Jepang. Skema ini merupakan terobosan dalam pembiayaan iklim karena menjadi pertama kalinya kedua negara maju tersebut memberikan jaminan langsung untuk mendukung pendanaan iklim.

Dengan skema ini, ADB berencana memperluas kapasitas pinjaman tanpa harus melalui prosedur peningkatan modal yang kompleks.

Strategi Baru dalam Pembiayaan Iklim Multilateral

Pendekatan penjaminan ini memungkinkan ADB untuk memperluas portofolio pinjamannya dengan risiko yang lebih kecil. Amerika Serikat, melalui skema ini, akan menjamin pinjaman hingga USD 1 miliar (sekitar Rp 15,7 triliun) dari ADB. Sementara Jepang menjamin sebesar USD 600 juta (Rp 9,4 triliun).

Dana ini untuk membiayai proyek-proyek yang mendukung transisi energi dan mitigasi dampak perubahan iklim di negara-negara berkembang Asia. Asia merupakan kawasan yang masih menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim.

Baca juga: Menggugat Dana Perusak Alam di COP29

Salah satu proyek pertama yang akan memanfaatkan dana ini adalah produksi bahan bakar penerbangan berkelanjutan di Pakistan. Proyek ini akan memanfaatkan minyak goreng bekas sebagai bahan baku utama untuk bahan bakar avtur hijau (Sustainable Aviation Fuel).

Perkiraannya, ADB akan menyalurkan hingga 50% dari total biaya proyek yang mencapai USD 90 juta (Rp 1,4 triliun), dengan penandatanganan kesepakatan rencananya berlangsung pada akhir bulan ini.

Pendanaan Iklim di COP29 dan Peran ADB

Konferensi Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, yang saat ini tengah berlangsung, menjadi momentum bagi lembaga-lembaga pembangunan dan negara-negara maju untuk meningkatkan pendanaan iklim bagi negara berkembang.

ADB sendiri menargetkan pendanaan iklim jangka panjang kumulatif hingga USD 100 miliar (Rp 1.571 triliun) pada 2030. Dengan penyaluran dana sebesar USD 9,8 miliar (Rp 154,05 triliun) pada tahun 2023. Target ambisius ini bertujuan untuk mempercepat peralihan menuju energi bersih dan ketahanan iklim di Asia yang berisiko tinggi terdampak bencana iklim.

Baca juga: Misi Indonesia di COP29: Perdagangan Karbon & Pengurangan Emisi

Namun, keberhasilan konferensi ini dibayangi oleh perkembangan politik global, terutama setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilu AS. Dengan sikap Trump yang kerap skeptis terhadap isu perubahan iklim dan janji untuk keluar dari Perjanjian Paris, beberapa negara peserta merasa terancam dengan kemungkinan melemahnya dukungan AS.

Hal ini menambah tekanan kepada negara-negara Eropa dan China untuk mendorong keberhasilan dalam perundingan iklim kali ini.

Konferensi Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, mendorong peningkatan pendanaan iklim untuk negara berkembang. ADB menargetkan pendanaan iklim hingga USD 100 miliar pada 2030. Foto: Aircenter.az.

ADB Dorong Kolaborasi Multilateral untuk Pendanaan Berkelanjutan

ADB telah berbagi pengalaman skema penjaminan ini dengan lembaga pembangunan lainnya, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Inter-Amerika, dan Bank Investasi Eropa. Kolaborasi ini bertujuan untuk menciptakan mekanisme pendanaan iklim yang lebih tangguh dan berbasis risiko bersama.

Beberapa negara maju bahkan berharap skema seperti ini dapat mengurangi ketergantungan pada bantuan langsung dari negara kaya. Sehingga pendanaan iklim dapat lebih inklusif melalui kolaborasi dengan bank pembangunan dan investor swasta.

Baca juga: Mempercepat Ekonomi Karbon, Langkah Strategis Keberlanjutan Indonesia

Direktur Pelaksana Senior Bank Dunia, Axel von Trotsenburg, menyatakan bahwa inisiatif ini berjalan dengan baik. Bank Dunia sendiri telah menjamin lebih dari USD 10 miliar (Rp 157,19 triliun) pada 2023, dengan rencana untuk menggandakan nilai tahunan tersebut pada 2030.

Urgensi Pendanaan Iklim bagi Negara Berkembang

Ancaman perubahan iklim, terutama bagi negara berkembang, semakin meningkat seiring dengan frekuensi bencana iklim yang tak terduga. Berdasarkan estimasi, negara-negara berkembang memerlukan lebih dari USD 2 triliun per tahun pada 2030 untuk mendukung transisi energi bersih sekaligus memitigasi dampak dari pemanasan global.

Menjawab tantangan ini, pendanaan iklim harus mampu menjadi solusi jangka panjang dengan kolaborasi lintas batas dan sumber pendanaan yang beragam.

Melalui skema penjaminan ini, ADB tidak hanya berperan sebagai lembaga pendanaan. Tetapi, juga mitra strategis bagi negara berkembang dalam upaya mencapai pembangunan berkelanjutan yang berkelanjutan di Asia. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *