PUSAT gravitasi pembiayaan iklim global mulai bergeser ke Asia Pasifik. Data paruh pertama 2025 menunjukkan kawasan ini menyerap sekitar 6 persen dari total alokasi dana iklim dunia. Angka itu memang belum sebesar Amerika Serikat yang masih dominan, tetapi tren penurunan porsi AS membuka ruang bagi Asia Pasifik untuk tampil sebagai tujuan utama investasi hijau.
Pendorongnya beragam. Pipeline proyek energi bersih yang terus bertambah, kebutuhan infrastruktur modern, serta kebijakan pemerintah yang lebih ramah terhadap pembangunan rendah karbon. Demografi yang dinamis, penduduk muda, urbanisasi pesat, dan pasar konsumen yang meluas, juga memperkuat daya tarik kawasan ini.
Potensi Asia Tenggara dan Hong Kong
Laporan MSCI menegaskan bahwa perusahaan di bidang penyimpanan energi, tenaga rendah karbon, dan mobilitas hijau di Asia Pasifik tumbuh lebih cepat sejak 2019 dibandingkan rekan mereka di Eropa maupun AS. Dari seluruh subkawasan, Asia Tenggara menonjol dengan kombinasi kebutuhan energi tinggi dan pasar domestik besar.
Baca juga: Deklarasi Bogota, Komitmen Baru Melindungi Amazon dari Titik Balik Krisis Iklim
Thailand, misalnya, melalui PTT Global Chemical aktif mengembangkan proyek energi terbarukan. Di Singapura, SP Group dan Keppel berinvestasi pada infrastruktur hijau. Sementara itu, Hong Kong berambisi menjadi pusat keuangan berkelanjutan. Melalui Sustainable Finance Action Agenda, kota ini memberi tantangan serius terhadap dominasi Singapura sebagai hub keuangan hijau.

Yang menarik, peluang investasi tidak hanya datang dari sektor energi atau transportasi, tetapi juga dari sistem air bersih dan ketahanan perkotaan. Area ini masuk kategori adaptasi iklim, yang selama ini hanya memperoleh kurang dari lima persen porsi pembiayaan global.
Baca juga: COP30, Harapan Negara Berkembang untuk Pendanaan Iklim Lebih Adil
Kompetisi Keuangan Hijau Regional
Data MSCI menunjukkan penerbitan obligasi berkelanjutan di Asia Tenggara dan Greater Bay Area (Hong Kong, Guangdong, dan Makau) relatif seimbang pada periode 2020–2024. Namun pada paruh pertama 2025, Asia Tenggara sedikit unggul. Fakta ini menandakan dua kawasan tersebut bersama-sama membentuk pusat gravitasi baru bagi pembiayaan hijau di Asia Pasifik.
Baca juga: GCF Gelontorkan $686,8 Juta untuk Pendanaan Iklim 42 Negara
Menurut Direktur Riset MSCI Sustainability Institute, Rumi Mahmood, dekade mendatang akan menentukan apakah ekonomi Asia yang tumbuh cepat dapat bertransisi secara berkelanjutan dan inklusif. “Mobilisasi modal menuju jalur transisi yang kredibel bukan lagi pilihan. Itu kunci bagi ketahanan dan kemakmuran jangka panjang kawasan ini,” tegasnya dikutip Know ESG.
Bagi Indonesia, peluang ini strategis. Sebagai negara dengan kebutuhan infrastruktur besar dan target energi terbarukan ambisius, keterlibatan dalam arus investasi global akan menentukan keberhasilan transisi energi nasional. Dengan cadangan sumber daya alam yang melimpah dan pasar domestik raksasa, Indonesia berpotensi menjadi salah satu episentrum pembiayaan iklim di Asia Tenggara—asal mampu menciptakan iklim kebijakan yang stabil, transparan, dan konsisten. ***
- Foto: Ilustrasi – Asia Pasifik muncul sebagai magnet baru pembiayaan iklim global, ditopang proyek energi bersih, urbanisasi, dan kebijakan hijau.