PULAU Sumatra kembali memasuki babak kelam. Sejak 24 November 2025, rangkaian banjir bandang dan longsor meluluhlantakkan kawasan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Skala bencananya mengoyak nalar. BNPB melaporkan 469 warga meninggal, 474 hilang, 647 terluka, dan lebih dari 1,7 juta jiwa terdampak.
Sebanyak 480 ribu orang mengungsi di 48 kabupaten, dengan 214 jembatan rusak, serta puluhan ribu rumah hancur, dari rusak berat hingga ringan.
Namun para ahli menegaskan, tragedi ini bukan hanya cerita tentang cuaca ekstrem. Ini tentang bagaimana hulu yang rapuh memaksa hilir membayar ongkos yang kian tak terhitung.
Atmosfer Menggila, Hulu Tak Lagi Melindungi
Pada puncak kejadian, beberapa wilayah Sumatera Utara diguyur lebih dari 300 mm hujan per hari, kategori ekstrem menurut standar klimatologi. BMKG menyebut curah hujan dipicu dinamika atmosfer yang jarang muncul, termasuk Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka.
Namun, menurut Peneliti Hidrologi Hutan & Konservasi DAS, Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Hatma Suryatmojo, cuaca ekstrem hanyalah “pemicu”. Dalam pernyataannya, ia menekankan bahwa kerusakan ekosistem hutan di hulu DAS-lah yang membuat kejadian ini berubah menjadi bencana berskala besar.
Baca juga: Banjir Besar Aceh–Tapanuli, Cuaca Ekstrem Menguji Tata Ruang yang Rapuh
“Hulu kehilangan fungsi spons-nya. Tanah tak lagi menyerap air. Limpasan permukaan meningkat drastis. Begitu ada hujan ekstrem, semuanya mengalir liar ke hilir,” kata Hatma mengutip laman resmi UGM.

Data Deforestasi, Akumulasi ‘Dosa Ekologis’
Angka-angka tutupan hutan menunjukkan betapa rentannya Sumatra kini:
- Aceh kehilangan >700.000 hektar hutan (1990–2020).
- Sumatera Utara menyisakan 29% tutupan hutan atau sekitar 2,1 juta hektar. Konsesi dan penebangan liar terus menekan benteng tersisa seperti Ekosistem Batang Toru.
- Sumatera Barat masih memiliki 54% tutupan hutan (2,3 juta hektar), tetapi laju deforestasinya termasuk yang tertinggi. Walhi Sumbar mencatat kehilangan 740 ribu ha tutupan pohon, termasuk 32 ribu hektar pada 2024.
Dalam kondisi seperti itu, kata Hatma, “setiap hujan ekstrem menjadi ujian terhadap hulu yang sudah kehilangan daya tampungnya.”
Rantai Longsor hingga Banjir Bandang
Hutan yang sehat dapat menahan hingga 35% air hujan di tajuk (intersepsi) dan menyerap hingga 55% melalui infiltrasi. Limpasan air yang mengalir ke sungai biasanya hanya 10–20% dari total hujan.
Tetapi ketika tutupan hilang, tanah kehilangan porositas. Akar tak memegang tanah. Longsor pun tak terhindarkan.
Baca juga: Banjir Aceh dan Krisis Tata Air, Ketika Sungai Melemah dan Lahan Kehilangan Daya Serap
Material longsor, seperti batang pohon, batu, tanah, mengalir ke sungai, membuat bendungan alam yang sewaktu-waktu jebol. Begitu jebol, banjir bandang tercipta dalam hitungan menit.
Ini pula yang terjadi di banyak lokasi di Aceh Timur, Tapanuli Selatan, hingga Agam.

Perubahan Iklim Memperparah
Perubahan iklim memperbesar peluang cuaca ekstrem. Saat benteng hulu runtuh dan curah hujan makin tak terduga, risiko bencana hidrometeorologi meningkat eksponensial.
Baca juga: Ada Racun Kimia di Balik Setiap Banjir
Hatma menyebut banjir bandang kali ini “mungkin salah satu yang terbesar dalam beberapa dekade”.
Hulu Harus Jadi Prioritas Nasional
Bencana Sumatra 2025 menjadi cermin keras bagi Indonesia. Pendekatan penanggulangan bencana tidak cukup hanya bertumpu pada respons darurat. Restorasi hulu DAS, penegakan hukum atas deforestasi, serta penguatan tata ruang berbasis risiko iklim perlu ditempatkan sebagai agenda strategis nasional.
Tanpa itu, setiap hujan ekstrem bisa kembali mengulang tragedi, dengan ongkos sosial, ekonomi, dan ekologis yang terus membengkak. ***
- Foto: HO/ @Zaki Mubarak – Hamparan banjir besar menenggelamkan kawasan permukiman dan lahan pertanian di jalur Pidie Jaya-Bireuen, Aceh, akhir November 2025. Skala genangan ini menunjukkan besarnya limpasan permukaan akibat curah hujan ekstrem dan melemahnya daya tampung Daerah Aliran Sungai (DAS) di hulu.


