Banjir Sumatra Bongkar Celah Tata Kelola Proyek Energi Hijau

INDONESIA menaruh harapan besar pada energi terbarukan untuk mengurangi emisi dan memperkuat kemandirian energi. Namun, tragedi banjir besar di Sumatra memunculkan pertanyaan baru, sejauh mana proyek-proyek hijau ini mempengaruhi stabilitas ekologi?

Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) mulai menelusuri indikasi keterkaitan antara ekspansi proyek energi terbarukan dan kejadian banjir di tiga provinsi utama. Menteri LH/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan, investigasi dilakukan karena adanya indikasi perubahan bentang alam akibat pembangunan infrastruktur energi.

“Memang ada kegiatan yang mengubah bentang alamnya,” ucapnya, Senin (1/12). Pemerintah, sambil melakukan pemulihan ekosistem, membuka opsi sanksi hukum jika terbukti ada pelanggaran lingkungan oleh perusahaan.

Ekspansi Proyek Energi Hijau dan Jejak Ekologinya

Sumatra menjadi laboratorium energi terbarukan. Sedikitnya 28 pembangkit listrik tenaga air (PLTA) beroperasi atau dibangun, tersebar di Sumatra Utara, Bengkulu, Sumatra Barat, Riau, dan Lampung. Selain itu, delapan pembangkit panas bumi (PLTP) sudah berjalan, ditambah jaringan wilayah survei dan eksplorasi yang terus berkembang.

Perluasan ini mengubah fisiologi lanskap. Penggundulan hutan untuk kanal akses, bendungan, kolam, atau terowongan air memicu terbukanya lahan kritis di lereng curam yang selama ini menjadi penyangga banjir.

Baca juga: Banjir Bandang Sumatra 2025: Ketika Hulu Runtuh, Hilir Membayar Mahal

Temuan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) memperkuat indikasi itu. Mereka melaporkan proyek PLTA Batang Toru mengonversi 56,86 hektare kawasan hutan di satu ekosistem sungai. Penggalian, pengeboran, dan modifikasi aliran sungai disebut meningkatkan tekanan hidrologis ke hilir.

“Masifnya PLTA memodifikasi pola sedimen dan memperbesar potensi banjir dan longsor saat curah hujan ekstrem bersamaan dengan pengelolaan bendungan yang buruk,” tulis Jatam.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Pola serupa diperkirakan terjadi di banyak titik. Energi terbarukan membutuhkan ruang, infrastruktur berat, dan intervensi bentang alam. Tanpa tata kelola yang hati-hati, agenda hijau justru menyimpan risiko ekologis baru.

Ketika Transisi Energi Beririsan dengan Tata Kelola Ruang

Sumatra tidak hanya menerima investasi energi. Pulau ini juga mengandung 2,45 juta hektare wilayah pertambangan aktif dengan 1.907 izin. Akumulasi intervensi ruang, mulai dari tambang, energi terbarukan, infrastruktur, hingga perkebunan, membentuk tekanan berlapis pada DAS.

Baca juga: Banjir Besar Aceh–Tapanuli, Cuaca Ekstrem Menguji Tata Ruang yang Rapuh

Konversi hutan meningkatkan limpasan permukaan dan mempercepat aliran air ke hilir. Sementara pembangunan bendungan dan terowongan mengubah rute sungai dan sedimen. Ketika hujan ekstrem datang, sistem alam kehilangan kemampuan memecah tekanan air.

KLH kini menggandeng perguruan tinggi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat untuk menyusun audit ekologi. Pendekatan ilmiah ini penting sebagai dasar penegakan hukum dan pembenahan kebijakan perizinan.

Transisi Energi Tidak Bebas Risiko, Perlu Tata Kelola Baru

Kasus Sumatra membuka pelajaran penting. Energi terbarukan bukan otomatis “ramah lingkungan”. Dampak ekologisnya tergantung tata kelola, lokasi, kapasitas mitigasi, dan kejujuran dalam menilai risiko.

Baca juga: Banjir Aceh dan Krisis Tata Air, Ketika Sungai Melemah dan Lahan Kehilangan Daya Serap

Transisi energi berkelanjutan menuntut standar AMDAL yang lebih kuat, perlindungan DAS yang ketat, serta pemantauan dampak kumulatif lintas sektor—tambang, PLTA, panas bumi, dan perkebunan.

Tanpa itu, ambisi energi bersih berpotensi menjadi ironi. Mengurangi emisi tetapi meningkatkan bencana. ***

  • Foto: Idris Bendung – Warga menyeberang sungai menggunakan perahu setelah jembatan penghubung di jalan lintas Sumatra kawasan Kutablang, Bireuen, Aceh, ambruk diterjang banjir besar. Kerusakan infrastruktur ini memperlihatkan rapuhnya daya dukung daerah aliran sungai ketika curah hujan ekstrem bertemu tekanan bentang alam dan tata kelola yang lemah.
Bagikan