Brasil Berdarah di Tengah Persiapan Hijau Menuju COP30

Menjelang COP30, Brasil berupaya menata citra hijau. Namun, darah justru kembali mengalir di Rio de Janeiro.

RIO de Janeiro kembali menjadi sorotan dunia, bukan karena persiapan menuju forum lingkungan global, melainkan tragedi berdarah yang mencoreng wajah kota itu. Sedikitnya 64 orang tewas dalam operasi polisi pada Selasa malam (28/10), menjadi operasi paling mematikan sepanjang sejarah Rio.

Operasi ini menargetkan geng besar di kompleks favela Alemao dan Penha, hanya beberapa hari sebelum Rio menjadi tuan rumah dua acara internasional, KTT C40 para wali kota dunia dan Earthshot Prize yang digagas Pangeran William. Keduanya merupakan bagian dari rangkaian kegiatan menuju Konferensi Iklim PBB (COP30) yang akan digelar di Belem, Amazon, pada November.

Antara Keamanan dan Citra Global

Dalam setiap hajatan global, Rio selalu berupaya menampilkan citra kota yang aman dan tertib. Pola serupa terjadi menjelang Olimpiade 2016, KTT G20 2024, dan pertemuan BRICS pada Juli lalu. Namun, upaya “pembersihan” menjelang acara internasional seringkali berujung pada kekerasan bersenjata yang memakan korban jiwa.

Gubernur Rio, Claudio Castro, menyebut operasi yang melibatkan 2.500 personel keamanan itu sebagai bagian dari “perang melawan narkoterorisme.” Namun, di balik retorika keamanan, bayang-bayang pelanggaran HAM kembali menghantui Brasil.

Baca juga: Menuju COP30, Brasil Usulkan Kontribusi Iklim Global Melampaui Negara

Asap mengepul di cakrawala kota, geng-geng membakar mobil untuk memperlambat kendaraan lapis baja, dan tembakan bergema sepanjang malam. Polisi bahkan merilis video drone yang memperlihatkan tersangka melawan dengan granat. Di sisi lain, warga sipil kembali menjadi korban tak berdosa di tengah medan perang yang berubah menjadi kawasan pemukiman padat.

Kritik atas Pendekatan Militeristik

Bagi banyak pemerhati keamanan dan HAM, operasi semacam ini menunjukkan kegagalan struktural dalam kebijakan publik Brasil. Direktur Eksekutif lembaga Sou da Paz, Carolina Ricardo, menyebut operasi ini “tragedi yang sia-sia.”

Baca juga: Tarif Hotel COP30 Bikin Panas, Brasil-PBB Berdebat Soal Subsidi Akomodasi

Dalam publikasi di media sosial, ia menegaskan bahwa kebijakan represif semacam ini tidak menyentuh akar persoalan narkoba, kemiskinan, ketimpangan, dan lemahnya layanan publik di favela.

Pemandangan kawasan favela di Rio de Janeiro, Brasil. Permukiman padat ini menjadi simbol ketimpangan sosial yang masih membayangi upaya Brasil menata citra hijau di panggung global. Foto: Frans van Heerden Pexels.

Favela, permukiman miskin yang berdiri di lereng-lereng bukit Rio, telah lama menjadi simbol ketimpangan sosial di negeri samba. Di wilayah ini, keamanan dan keadilan sering kali menjadi barang langka, tergantikan oleh kekuatan senjata dan ketidakpastian hukum.

Ironi di Tengah Agenda Hijau

Tragedi ini terjadi ketika dunia tengah menyoroti transisi hijau, keadilan sosial, dan keberlanjutan menjelang COP30. Ironinya, kota yang tengah mempersiapkan diri menjadi wajah “perubahan iklim global” justru memperlihatkan ketidakadilan sosial paling mendasar, hak hidup warganya sendiri.

Baca juga: Investasi Hijau dan Solidaritas Selatan, Arah Baru Diplomasi Iklim Indonesia di COP30

Bentrokan bersenjata itu memaksa puluhan sekolah dan fasilitas medis tutup, ratusan bus dialihkan, dan ribuan warga terjebak kemacetan. Di rumah sakit, tangisan keluarga korban menggema di antara sirene ambulans. Sebuah potret kontras dari narasi “kota hijau” yang ingin ditampilkan Brasil di panggung dunia.

Ketika dunia berbicara tentang transisi energi dan masa depan planet, Rio mengingatkan bahwa keberlanjutan tak mungkin lahir di atas darah dan ketidakadilan. COP30 di Belem nanti akan menuntut lebih dari sekadar komitmen iklim. Tetapi juga keberanian moral untuk menata ulang relasi antara keamanan, hak asasi, dan kemanusiaan. ***

Foto: COP30 – Para pembicara dalam forum “Diálogos pelo Clima – Mata Atlântica” di Rio de Janeiro, bagian dari rangkaian persiapan Brasil menuju COP30 di Belem, Amazon, November 2025.

Bagikan