STUDI terbaru Climate Analytics menyoroti tanggung jawab moral dan finansial dari perusahaan bahan bakar fosil serta industri semen dunia. Dalam laporan yang dirilis 24 Oktober 2025 dan dikutip dari Edie, lembaga riset ini menghitung secara spesifik kontribusi finansial puluhan perusahaan yang dianggap paling banyak mencemari atmosfer bumi.
Hasilnya, 66 perusahaan bahan bakar fosil terbesar diminta untuk turut membiayai pengembangan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon langsung dari udara, atau Direct Air Carbon Capture and Storage (DACCS). Jumlah yang dituntut bukan kecil, antara 40,5 miliar hingga 77,6 miliar dolar AS hingga tahun 2070.
Teknologi Mahal, tapi Tak Terhindarkan
Teknologi DACCS menjadi salah satu harapan utama dunia dalam mengurangi kadar karbon yang sudah terlanjur memenuhi atmosfer. Dengan cara menyedot karbon langsung dari udara dan menyimpannya di bawah permukaan tanah, sistem ini berpotensi menjadi game changer dalam mitigasi krisis iklim.
Baca juga: Fosil Masih Perkasa, Tantangan Global dalam Transisi Energi Menuju 2050
Namun, jalan menuju penerapan skala besar masih panjang. Climate Analytics mencatat, dibutuhkan 32 miliar dolar AS hanya untuk membawa DACCS keluar dari tahap eksperimental. Mulai dari uji coba, validasi konsep, hingga kesiapan komersial. Biaya operasi pun tinggi, sekitar 100 dolar AS per ton karbon yang dihapus.
Laporan Allied Offsets memperingatkan bahwa penghilangan karbon dalam skala gigaton tak terelakkan lagi. Untuk mencapai target nol-emisi bersih global, dunia harus mampu menghapus 5–22 gigaton CO₂ per tahun, sementara emisi global saat ini masih di kisaran 40 gigaton.

Sebagian kecil dari karbon yang berhasil dihapus, sekitar 2 gigaton, masih bergantung pada solusi berbasis alam seperti reboisasi, aforestasi, dan agroforestri. Artinya, kapasitas penghapusan karbon buatan manusia masih jauh dari memadai.
Baca juga: China Luncurkan FPSO Pertama dengan Teknologi Penangkapan Karbon
Keadilan Iklim dan Tanggung Jawab Korporasi
Menurut peneliti utama Climate Analytics, Dalia Kellou, prinsip keadilan iklim menuntut agar perusahaan yang paling banyak berkontribusi terhadap krisis iklim juga ikut menanggung biaya untuk memperbaikinya.
Baca juga: Perusahaan Energi Fosil Rugikan Dunia Rp 471 Kuadriliun
“Berdasarkan prinsip keadilan iklim, perusahaan-perusahaan yang paling berkontribusi terhadap krisis iklim juga harus bertanggung jawab untuk berinvestasi dalam solusi. Ini termasuk pendanaan investasi tahap awal agar teknologi penghilangan karbon menjadi layak,” ujar Kellou.
Jika perusahaan-perusahaan tersebut berkomitmen mengurangi emisi sesuai jalur Perjanjian Paris, maka kontribusi finansial mereka akan mencapai 41 miliar dolar AS. Namun, jika mereka gagal mengadopsi strategi dekarbonisasi yang kuat, angka itu bisa berlipat ganda.
Antara Solusi dan Pengalihan Beban
Meski tampak menjanjikan, tagihan raksasa ini masih menyisakan dilema. Di satu sisi, kebijakan ini menegakkan prinsip “pencemar membayar”. Di sisi lain, ada kekhawatiran jika pembiayaan tersebut justru dijadikan tameng untuk menunda transisi menuju energi bersih.
Baca juga: PBB Serukan Penghapusan Subsidi Bahan Bakar Fosil
Dalam konteks Indonesia, studi ini memberi pesan penting: membangun ekosistem keuangan iklim yang adil berarti juga memastikan pelaku industri besar tidak hanya membayar kompensasi, tetapi juga melakukan transformasi nyata pada rantai produksinya. Tanpa itu, penghapusan karbon hanyalah “menyedot asap sambil terus menyalakan api”. ***
- Foto: AI-generated/SustainReview – Ilustrasi fasilitas Direct Air Carbon Capture and Storage (DACCS) yang dirancang untuk menyerap karbon langsung dari atmosfer. Teknologi ini diharapkan membantu menekan emisi global menuju target net-zero.


