SETENGAH abad setelah langkah pertama Neil Armstrong di Bulan, manusia bersiap menjejak kembali permukaan satelit alam Bumi itu. Namun kali ini, euforia penjelajahan luar angkasa berlangsung di tengah planet rumah yang sedang sakit.
NASA telah menetapkan April 2026 sebagai jadwal peluncuran misi Artemis II, misi berawak pertama menuju orbit Bulan sejak Apollo 17 (1972). Empat astronaut akan menjalani perjalanan 10 hari mengitari Bulan untuk menguji sistem antariksa Orion, langkah awal sebelum misi pendaratan Artemis III pada 2027.
Bagi sebagian orang, ini adalah kebangkitan sains dan simbol kemampuan manusia menembus batas.
Namun bagi sebagian lainnya, langkah ke Bulan terasa ironis karena di saat miliaran dolar diinvestasikan untuk eksplorasi luar angkasa, Bumi justru masih bergulat dengan krisis iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan lonjakan emisi.
Antara Kemajuan dan Pelarian
Selama lima dekade terakhir, eksplorasi luar angkasa berubah dari perlombaan politik menjadi kolaborasi ilmiah global. Program Artemis, misalnya, melibatkan Kanada, Eropa, dan Jepang, menandai babak baru diplomasi berbasis sains.
Namun, keberhasilan ini memunculkan pertanyaan etis. Apakah manusia tengah berupaya memahami alam semesta, atau diam-diam mencari tempat pelarian ketika Bumi tak lagi ramah?
Baca juga: Gerhana Bulan Total dan Banjir Rob, Saat Fenomena Langit Bertemu Krisis Iklim
Para ilmuwan menyebut misi ke Bulan sebagai laboratorium kehidupan berkelanjutan. Teknologi yang dikembangkan, dari sistem daur ulang air hingga sumber energi bersih, berpotensi menjadi model bagi kehidupan di Bumi yang kian tertekan. Namun realitasnya, dana riset iklim global masih tertinggal jauh dibanding anggaran eksplorasi antariksa.
Artemis dan Ambisi “Keberlanjutan Luar Angkasa”
Dalam rencananya, NASA tidak hanya ingin mendarat di Bulan, tetapi juga membangun stasiun luar angkasa permanen bernama Gateway. Fungsi utamanya, menjadi pangkalan logistik untuk misi antar-jemput Bulan dan Mars.
NASA menyebut visi ini sebagai “Artemis Generation Science”, menyiapkan generasi baru peneliti dan insinyur yang mampu hidup dalam sistem sirkular. Tidak ada air yang terbuang, energi terbarukan jadi standar, dan setiap limbah menjadi sumber baru.
Baca juga: Sepertiga Pemanasan Global Berasal dari 14 Raksasa Energi
Ironisnya, apa yang disebut “keberlanjutan di luar angkasa” justru belum benar-benar kita wujudkan di planet sendiri.
Laporan Global Carbon Project mencatat, emisi CO₂ global kembali naik 1,1% pada 2024, dengan pembakaran batu bara tetap menjadi penyumbang utama.

Antara Inspirasi dan Introspeksi
Mungkin benar, manusia selalu haus menjelajah. Namun langkah ke Bulan kali ini mestinya bukan tentang meninggalkan Bumi, melainkan belajar bagaimana bertahan lebih lama di rumah pertama kita.
Baca juga: NASA Investasi 11,5 juta dolar AS untuk Penerbangan Nol Emisi
Karena jika di luar angkasa manusia menciptakan sistem kehidupan yang efisien, mandiri energi, dan minim limbah, mengapa itu belum jadi standar di planet yang kita sebut rumah?
Misi Artemis boleh jadi tonggak sains, tapi juga cermin moral. Sebelum bermimpi tinggal di Bulan, bisakah kita memastikan Bumi tak lebih dulu tandus? ***
- Foto: Dok. NASA – Wahana antariksa Orion menangkap citra Bulan di kejauhan pada hari ke-19 misi Artemis I, 4 Desember 2022. Gambar ini menjadi simbol kembalinya manusia menjelajah Bulan setelah setengah abad.


