Untuk pertama kalinya dalam sejarah hukum lingkungan Indonesia, pengadilan menerapkan mekanisme anti-SLAPP. Kasus dua guru besar IPB yang digugat perusahaan sawit berubah menjadi tonggak penting bagi perlindungan sains dan pembela lingkungan.
KETIKA dua akademisi lingkungan digugat korporasi sawit karena menjalankan tugas ilmiah, pengadilan memilih berpihak pada kebenaran dan sains.
Putusan Pengadilan Negeri (PN) Cibinong yang menolak gugatan PT Kalimantan Lestari Mandiri (KLM) terhadap Guru Besar IPB Prof. Bambang Hero Saharjo dan Prof. Basuki Wasis menjadi preseden penting dalam perjalanan green justice di Indonesia.
Untuk pertama kalinya, mekanisme anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) diterapkan melalui putusan sela, mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Langkah ini bukan sekadar prosedur hukum, melainkan penegasan prinsip bahwa kebenaran ilmiah tidak boleh dikriminalisasi.
Kebakaran, Gugatan, dan Kemenangan Sains
Kasus bermula dari kebakaran lahan tahun 2018 di perkebunan sawit PT KLM di Kalimantan Tengah.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjuk kedua profesor IPB untuk menghitung kerugian ekologis.
Hasil analisis mereka menjadi bukti kunci yang membuat pengadilan menghukum PT KLM membayar ganti rugi sekitar Rp299 miliar.
Baca juga: Putusan MK, Setiap Orang yang Membela Lingkungan Tak Bisa Dituntut
Alih-alih menjalankan putusan, perusahaan justru menggugat balik para ahli, upaya yang dinilai banyak pihak sebagai bentuk pembungkaman terhadap partisipasi publik. Namun, PN Cibinong menolak seluruh gugatan, dan menegaskan bahwa tindakan tersebut termasuk kategori SLAPP, yaitu upaya hukum strategis untuk mengintimidasi atau melemahkan pembela lingkungan.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.
Preseden untuk Perlindungan Akademisi dan Aktivis
Koalisi Save Akademisi dan Ahli menyebut putusan ini progresif dan bersejarah, menandai pergeseran paradigma hukum lingkungan dari sekadar penindakan pelanggaran menjadi perlindungan terhadap pembela lingkungan.
Peneliti ICEL, Marsya M. Handayani, menyebut mekanisme ini “efektif dan berkeadilan” karena mampu menghentikan perkara sejak awal tanpa proses panjang yang melelahkan.
Baca juga: Dari Kokok Ayam, Hukum Menjadi Alat Keberlanjutan Sosial
Greenpeace Indonesia menilai langkah pengadilan sebagai peringatan keras bagi korporasi agar tidak lagi menggunakan jalur hukum untuk membungkam ilmuwan. Sementara YLBHI menilai putusan ini sebagai bentuk nyata penegakan rule of law, kebebasan akademik, dan hak asasi manusia dalam konteks keberlanjutan.

Keadilan Hijau dalam Transisi Ekonomi
Putusan PN Cibinong memberi sinyal kuat bahwa keberlanjutan tidak hanya soal energi bersih dan emisi rendah, tetapi juga tentang sistem hukum yang melindungi pembela lingkungan. Langkah ini menegaskan bahwa sains adalah bagian dari infrastruktur keadilan ekologis.
Baca juga: Mahkamah Internasional: Negara Abai Iklim Bisa Digugat
Ketika negara memperkuat transisi menuju ekonomi hijau, perlindungan bagi peneliti, aktivis, dan masyarakat adat menjadi fondasi penting agar kebijakan berbasis bukti ilmiah dapat berjalan tanpa intimidasi.
Kasus ini menandai lahirnya babak baru bagi Green Justice di Indonesia, di mana hukum tidak lagi hanya menindak pencemar, tetapi juga menjaga mereka yang berjuang demi kebenaran ekologis. ***
- Foto: Ilustrasi/ IslandHopper X/ Pexels – Petugas pemadam berdiri di area hutan yang terbakar. Kebakaran lahan menjadi simbol konflik antara kepentingan ekonomi dan tanggung jawab ekologis.


