DI BALIK barisan pepohonan yang tampak menenangkan, tersimpan masalah serius dalam upaya global mengatasi krisis iklim. Sejumlah negara besar diduga menyiasati data penyerapan karbon oleh hutan demi menunjukkan seolah mereka telah patuh terhadap komitmen iklim. Fakta ini terungkap dalam laporan terbaru lembaga riset Climate Analytics yang dirilis pada 24 April 2025.
Laporan tersebut menyoroti kelemahan regulasi internasional yang longgar dalam menghitung penyerapan karbon oleh ekosistem alami seperti hutan, tanah, dan lahan basah. Kondisi ini menciptakan celah bagi negara-negara untuk “menggelembungkan” kapasitas serapan karbon dalam laporan resmi mereka.
Manipulasi ini bukan hanya persoalan angka. Ini menyembunyikan kenyataan bahwa sebagian negara belum melakukan transisi energi yang sepadan dengan target pengurangan emisi yang telah dijanjikan dalam Paris Agreement.
Optimisme yang Menyesatkan
Dalam laporan yang sama, para ilmuwan mengungkapkan kekhawatiran mendalam: perubahan iklim justru membuat hutan dan lahan semakin tidak stabil sebagai penyerap karbon. Kebakaran hutan yang makin sering, kekeringan berkepanjangan, dan degradasi lahan telah memangkas efektivitas alami kawasan hijau dalam menyerap karbon dioksida dari atmosfer.
Baca juga: Emisi Karbon di Atmosfer Meningkat Pesat di 2024
Namun demikian, beberapa negara tetap mempertahankan pendekatan yang sangat optimistis terhadap kemampuan ekosistem menyerap karbon. Bahkan, asumsi optimistis ini digunakan dalam laporan nasional sebagai “kredit” untuk menurunkan emisi secara artifisial. Akibatnya, transisi energi bersih menjadi tertunda karena terlihat seolah neraca karbon mereka tetap “sehat”.

Menurut Climate Analytics, ketidakpastian seputar estimasi serapan karbon bisa mencapai 3 miliar ton CO₂—setara dengan emisi tahunan seluruh Uni Eropa. Ini bukan angka kecil, melainkan cerminan dari betapa besar dampak dari asumsi yang keliru terhadap arah kebijakan global.
Masalah Regulasi Global
Salah satu akar persoalan adalah kurangnya aturan yang mengikat. Dalam kerangka Paris Agreement, setiap negara diperbolehkan menyusun estimasi karbonnya sendiri. Tak ada standar global ketat yang mengatur parameter penghitungan atau asumsi ilmiah yang harus digunakan.
Baca juga: Keadilan Iklim Dipertanyakan di Balik Pajak Karbon Pelayaran
Kondisi ini menciptakan “ruang abu-abu” yang bisa dimanfaatkan secara politis. Salah satu penulis laporan, Claudio Forner, menyebutkan bahwa fleksibilitas ini membuat beberapa negara secara sadar menyusun laporan yang menyesatkan. Bukannya mempercepat aksi iklim, mereka justru memperlambatnya dengan membungkus stagnasi sebagai progres.
“Ketiadaan aturan yang ketat membuat negara bisa bermain angka, memperbesar serapan karbon tanpa langkah nyata di lapangan,” ujar Forner.
Dampaknya bagi Aksi Keberlanjutan
Bagi praktisi dan pengambil kebijakan di sektor keberlanjutan, temuan ini menjadi pengingat penting: data yang tampak ‘hijau’ tak selalu berarti langkah maju. Validitas data sangat penting dalam merumuskan strategi dan kebijakan berbasis bukti.
Indonesia, sebagai negara dengan hutan tropis luas, harus melihat ini sebagai panggilan untuk menegakkan integritas data karbon nasional. Transparansi dan akurasi dalam pelaporan menjadi landasan utama agar strategi iklim tidak hanya kuat di atas kertas.
Baca juga: ExxonMobil Investasi Besar untuk Penyimpanan Karbon di Indonesia
Lebih jauh lagi, ini menjadi momentum untuk mendesak adanya standarisasi global dalam sistem akuntansi karbon. Perlu adanya sistem verifikasi independen, pembaruan metodologi berbasis sains terbaru, serta penguatan kapasitas negara-negara berkembang dalam menyusun laporan yang kredibel.
Meluruskan Jalan ke Depan
Manipulasi data serapan karbon bukan sekadar persoalan teknis. Ia mengganggu fondasi moral dari kerja sama global dalam menghadapi krisis iklim. Jika kita ingin mendorong keadilan iklim dan keberlanjutan yang inklusif, maka kejujuran dalam angka adalah keharusan, bukan pilihan.
Langkah berikutnya haruslah fokus pada penyempurnaan regulasi internasional, peningkatan transparansi, serta akuntabilitas kolektif. Dalam dunia yang makin memanas, tidak ada ruang lagi untuk ilusi hijau. ***
- Foto: Ilustrasi/ David Music/ Pexels.