DIENG kembali mencuri perhatian. Kali ini bukan karena kabutnya yang memesona, tetapi status barunya sebagai Geopark Nasional. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM RI No. 172.K/GL.01/MEM.G/2025. Sebuah pengakuan penting atas kekayaan geologi, biodiversitas, dan budaya yang dimiliki dataran tinggi di jantung Jawa Tengah itu.
Dieng kini resmi menyandang predikat Geopark Nasional, mencakup 40 situs warisan tersebar di Wonosobo dan Banjarnegara. Dari kawah aktif hingga danau vulkanik, dari tumbuhan endemik hingga tradisi leluhur, setiap jengkalnya menyimpan cerita panjang tentang bumi, alam, dan manusia.
Namun, gelar ini bukan semata kebanggaan. Ia datang bersama tanggung jawab besar: merawat, melestarikan, dan membangun kawasan ini secara berkelanjutan.
Geologi dan Alam, Laboratorium Hidup di Atas Awan
Sebagai wilayah vulkanik aktif, Dieng menawarkan lanskap geologi yang kaya dan unik. Kawah aktif, danau belerang, dan bebatuan purba menjadi geosite utama yang tidak hanya menarik wisatawan, tetapi juga peneliti geologi dari berbagai negara. Setidaknya 23 situs geologi kini diakui secara nasional.
“Dieng adalah laboratorium alam. Kawahnya, bebatuan purba, hingga danau-danau vulkaniknya jadi rujukan ilmiah,” ujar Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat.
Baca juga: Ketika Geopark di Indonesia Jadi Lahan Perebutan
Namun keunggulan Dieng tidak berhenti di aspek fisik. Kawasan ini juga memiliki 8 situs keanekaragaman hayati yang penting. Flora dan fauna dataran tinggi seperti carica, tanaman endemik, dan berbagai spesies burung gunung hidup berdampingan dengan aktivitas masyarakat.
Konservasi menjadi kunci. Alam Dieng tidak bisa hanya dilihat sebagai aset wisata. Ia adalah bagian dari ekosistem yang rapuh, yang harus dijaga dengan pendekatan ilmiah dan partisipatif.

Budaya yang Hidup, dari Ritual ke Identitas Komunitas
Di tengah suhu yang dingin dan tanah yang rawan aktivitas vulkanik, masyarakat Dieng justru menyimpan kekayaan budaya yang menghangatkan. Salah satu yang paling dikenal adalah Ruwatan Rambut Gimbal, tradisi sakral yang diwariskan lintas generasi.
Ritual ini bukan sekadar atraksi wisata. Tapi, sekaligus merupakan simbol perjanjian spiritual antara anak-anak rambut gimbal dan leluhur mereka. Prosesi ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai lokal masih hidup dan menjadi bagian dari keseharian warga Dieng.
Baca juga: 12 Geopark Indonesia Diakui UNESCO, Momen Emas Bangun Pariwisata Hijau
Selain itu, candi-candi Hindu kuno, sistem pertanian tradisional, dan arsitektur khas pegunungan menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya Dieng. Geopark ini tidak bisa dilepaskan dari manusia yang merawatnya sejak ribuan tahun lalu.
Menyatukan Konservasi, Edukasi, dan Ekonomi Lokal
Status Geopark Nasional seharusnya menjadi awal bagi pengembangan berkelanjutan yang lebih inklusif. Pemerintah daerah menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mengelola kawasan ini secara terpadu.

Pengelolaan berbasis komunitas bisa menjadi model utama. Pelatihan pemandu lokal, pengembangan produk UMKM ramah lingkungan, hingga edukasi lingkungan di sekolah-sekolah akan memperkuat fondasi geopark ini sebagai kawasan hidup, bukan hanya destinasi.
Baca juga: Geopark Toba Terancam Dicoret UNESCO, Citra Pariwisata Indonesia Dipertaruhkan
Afif menyebutkan, dukungan kebijakan dan anggaran dari pemerintah pusat harus diarahkan pada infrastruktur berkelanjutan, riset lapangan, serta program konservasi jangka panjang.
Keberhasilan Geopark Dieng bukan diukur dari banyaknya pengunjung, tapi dari sejauh mana masyarakatnya diberdayakan dan lingkungannya dilestarikan. ***
- Foto: Instagram/ @riifography