LAPORAN terbaru Bank Dunia menegaskan bahwa degradasi ekologi kini bukan lagi sekadar isu lingkungan, melainkan ancaman ekonomi nyata. Degradasi lahan, polusi udara, dan kelangkaan air telah menekan hampir seluruh penduduk dunia, dengan negara berpendapatan rendah menjadi pihak paling rentan.
Direktur Pelaksana Senior Bank Dunia, Axel van Trotsenburg, menyebut dampak kerusakan akibat polusi dan degradasi lingkungan “sangat parah” bagi masyarakat miskin. “Komitmen kami adalah mengakhiri kemiskinan di planet yang layak huni. Titik. Kami tidak akan goyah,” tegasnya.
Ancaman Global yang Nyata
Menurut laporan itu, sekitar 80 persen populasi di negara berpendapatan rendah terpapar tiga risiko sekaligus, polusi udara, degradasi lahan, dan krisis air. Di Malawi, 12 juta orang menghadapi ketiga ancaman tersebut secara bersamaan. Bahkan secara global, 90 persen penduduk dunia menghadapi setidaknya satu risiko ekologis.
Bank Dunia juga menghitung dampak finansialnya. Penggundulan hutan di Amazon misalnya, menimbulkan kerugian hingga US$ 14 miliar per tahun. Jika degradasi lahan terus berlanjut, potensi kerugian global bisa mencapai US$ 379 miliar atau 8 persen dari total output pertanian dunia.
Baca juga: Polusi Udara Menyurutkan Sinar Matahari, Energi Surya Terhambat
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Ekonomi Berkelanjutan, Richard Damania, menegaskan bahwa paradigma lama “bertumbuh dulu, bersih-bersih kemudian” sudah tak relevan. Kerusakan ekologi saat ini langsung berimplikasi pada biaya ekonomi yang tinggi.
Relevansi bagi Indonesia
Indonesia termasuk negara yang tak kebal dari risiko ini. Polusi udara Jakarta baru-baru ini menembus kategori tidak sehat selama berhari-hari, meningkatkan biaya kesehatan masyarakat. Di sisi lain, deforestasi di Kalimantan dan Papua telah mengurangi daya dukung ekosistem, memicu banjir, kebakaran hutan, dan penurunan produktivitas lahan.

Di Jawa, krisis air menjadi alarm serius. Laporan Kementerian PUPR mencatat sebagian besar wilayah sudah menghadapi tekanan air, terutama akibat konversi lahan dan peningkatan kebutuhan domestik maupun industri. Jika tren ini berlanjut, ancaman terhadap sektor pertanian dan ketahanan pangan tidak bisa dihindari.
Baca juga: 12,4 Juta Hektar Lahan Kritis, Bisakah Ekologi dan Ekonomi Berjalan Seiring?
Bagi perekonomian nasional, risiko ini berarti meningkatnya biaya adaptasi, turunnya produktivitas, dan ancaman terhadap stabilitas sosial. Indonesia, sebagai negara dengan ambisi besar menuju net zero emission 2060, harus memastikan kebijakan ekonominya selaras dengan agenda keberlanjutan.
Momentum Menuju COP30
Laporan Bank Dunia dirilis menjelang perundingan iklim COP30 di Brasil, November mendatang. Bagi Indonesia, ini momentum strategis. Negeri ini bisa menunjukkan komitmen serius dengan mengurangi ketergantungan pada subsidi energi fosil, memperkuat perlindungan hutan, dan mempercepat transisi energi bersih.
Baca juga: Krisis Air di Indonesia, Jawa dan Bali-Nusa Tenggara Masuki Fase Kritis
Keputusan politik yang diambil hari ini akan menentukan seberapa kuat Indonesia menghadapi risiko ekologi di masa depan. Pertanyaannya bukan lagi apakah krisis lingkungan akan berdampak pada ekonomi, melainkan seberapa siap Indonesia menghadapinya. ***
- Foto: Hamdani S Rukiah/ SustainReview – Pemandangan Jakarta diselimuti polusi. Laporan Bank Dunia menegaskan kualitas udara buruk berkontribusi pada kerugian ekonomi dan kesehatan.