LIMA tahun berlalu sejak kerja sama antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Yayasan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia terhenti. Kini, lembaran baru dibuka. Pada Rabu, 5 Februari 2025, kedua pihak resmi menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) di kantor Kemenhut. Kesepakatan ini menjadi langkah strategis dalam menjaga konservasi dan keberlanjutan ekosistem di Indonesia.
Babak Baru Kerja Sama
Menteri Kehutanan Raja Antoni menegaskan komitmen Kemenhut untuk menjalin kemitraan dengan berbagai pihak selama memiliki tujuan yang jelas dan produktif. Ia menyambut baik kembalinya kerja sama ini dan optimistis akan lebih efektif dibanding sebelumnya.
“Setelah jeda lima tahun, hari ini kami menandatangani kembali MoU dengan WWF Indonesia. Saya berharap kerja sama ini lebih produktif dan memberikan dampak nyata bagi konservasi di Indonesia,” ujar Raja Antoni.
Baca juga: Jalan Melingkar Konservasi Alam Indonesia
Salah satu fokus utama dalam MoU ini adalah pengelolaan lahan yang telah dialokasikan oleh Presiden Prabowo untuk koridor gajah di Aceh. Kawasan seluas 20.000 hektare ini dirancang sebagai sanctuary guna melindungi habitat gajah Sumatra yang semakin terancam.
WWF Indonesia Siap Berkontribusi
CEO Yayasan WWF Indonesia, Aditya Bayunanda, menyatakan bahwa kerja sama ini merupakan kehormatan bagi pihaknya. WWF Indonesia siap membantu pemerintah dalam melindungi satwa langka serta memastikan konservasi berjalan optimal.
“Kami ingin memastikan konservasi satwa langka dan terancam punah bisa dilakukan dengan prinsip saling menghormati dan komunikasi yang baik. Ini adalah kepercayaan besar bagi kami untuk turut serta dalam upaya konservasi Indonesia,” kata Aditya.
Baca juga: Gambut dan Mangrove, Solusi Iklim yang Terlupakan di Asia Tenggara
Ia menambahkan bahwa WWF Indonesia akan segera berkoordinasi dengan 15 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen KSDAE yang terlibat dalam kerja sama ini. Penyusunan rencana aksi (action plan) ditargetkan selesai dalam 24 bulan ke depan.
15 UPT Prioritas untuk Konservasi
Kerja sama ini mencakup berbagai aspek konservasi, mulai dari penelitian dan monitoring flora-fauna hingga pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan. Sebanyak 15 UPT Ditjen KSDAE akan menjadi ujung tombak implementasi MoU ini, termasuk:
- Sumatera: Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi
- Kalimantan: Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah
- Papua: Papua, Papua Barat
- Taman Nasional Ikonik: Ujung Kulon, Sebangau, Wakatobi, Komodo
Setiap UPT akan mengembangkan strategi spesifik sesuai dengan kondisi ekosistem di wilayah masing-masing.

Konservasi di Tengah Tantangan
Konservasi di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari perambahan hutan, perdagangan satwa liar, hingga konflik antara manusia dan satwa. Kehadiran WWF Indonesia diharapkan dapat membantu menanggulangi tantangan ini dengan pendekatan berbasis riset dan teknologi.
Salah satu prioritas utama adalah pengelolaan konflik satwa liar, khususnya gajah Sumatra, harimau, dan orangutan. Dengan meningkatnya aktivitas manusia di sekitar habitat alami, interaksi yang tidak terkendali sering kali berujung pada kerugian bagi kedua belah pihak.
Baca juga: Mengalihkan Utang untuk Melindungi Terumbu Karang Indonesia
Kemenhut dan WWF Indonesia menegaskan pentingnya edukasi masyarakat serta pendekatan berbasis komunitas dalam upaya konservasi. Kesadaran masyarakat menjadi kunci keberhasilan perlindungan satwa dan ekosistemnya.
Membangun Masa Depan Konservasi
Dengan MoU ini, Indonesia menegaskan komitmennya untuk terus menjaga kekayaan biodiversitas yang dimiliki. Langkah ini diharapkan tidak hanya melindungi flora dan fauna, tetapi juga membuka peluang bagi pengembangan wisata alam berkelanjutan dan jasa lingkungan.
Keberhasilan kemitraan ini akan bergantung pada sinergi antara pemerintah, lembaga konservasi, dan masyarakat. Jika berjalan sesuai rencana, MoU ini bisa menjadi model kerja sama yang menginspirasi berbagai sektor lain dalam menjaga keberlanjutan alam Indonesia. ***
- Foto: Ilustrasi/ Gary M. Cohen/ Pexels.