Limbah Sawit Jadi SAF, Tata Kelola Menentukan Arah Indonesia

KEPUTUSAN International Civil Aviation Organization (ICAO) mengesahkan Palm Oil Mill Effluent (POME) sebagai bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF) menjadi titik balik penting bagi Indonesia. Selama ini POME dipandang sebagai limbah cair industri sawit. Kini, diakui sebagai feedstock strategis dengan nilai ilmiah yang terverifikasi.

Pengakuan tersebut ditetapkan dalam dokumen resmi “CORSIA Default Life Cycle Emissions Values for CORSIA Eligible Fuels.” Prosesnya tidak singkat. Evaluasi teknis berlangsung satu tahun, termasuk verifikasi oleh Hasselt University dan Joint Research Centre (JRC) Komisi Eropa.

Kemenhub menyebut keputusan ini sebagai tonggak ilmiah dan regulasi. “Dengan adanya default value, proses perhitungan emisi menjadi lebih sederhana dan dapat digunakan langsung oleh produsen di Indonesia,” kata Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara, Sokhib Al Rokhman.

Baca juga: Paul Charles: Industri Perjalanan Harus Berevolusi Menuju Langit yang Lebih Hijau

Efeknya langsung terasa. Pasar SAF global yang selama ini didominasi minyak jelantah dan etanol kini terbuka bagi bahan baku domestik berbasis residu sawit.

Default Value 18,1 gCO₂e/MJ, Bukti Saintifik dan Dasar Regulasi

ICAO menetapkan nilai LCA POME sebesar 18,1 gCO₂e/MJ, jauh di bawah avtur fosil. Angka ini menjadi “default value” yang dapat dipakai produsen SAF global untuk menghitung emisi reduksi mereka.

Menurut Kementerian Luar Negeri, nilai tersebut adalah hasil harmonisasi data lintas kementerian dan lembaga. Indonesia mengajukan POME pada November 2024, didukung IPOSS dan PT Tripatra. Pengajuan mencakup pengumpulan data lapangan di Pabrik Kelapa Sawit (PKS), penyusunan working paper untuk Working Group 5 ICAO, serta diskusi teknis dengan negara-negara anggota.

Baca juga: Maskapai Dunia Patungan 150 Juta Dolar untuk Bahan Bakar Penerbangan Hijau

Kunci penerimaan POME adalah statusnya sebagai residu, bukan komoditas primer. Karena itu, POME tidak memikul beban Indirect Land Use Change (ILUC), salah satu syarat paling ketat dalam jalur HEFA, metode produksi SAF yang diakui ICAO.

Data lapangan Indonesia berada dalam kisaran 17,5–18,8 gCO₂e/MJ. “Nilai ini mencerminkan kondisi aktual lapangan dan telah melalui proses verifikasi,” kata Faras Wibisono dari PT Tripatra.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Potensi Besar Pasokan, Tantangan Ada pada Traceability

Volume produksi TBS Indonesia mencapai 250 juta ton per tahun. Jika tingkat pemulihan minyak POME minimal 1%, Indonesia memiliki potensi 2,5 juta ton feedstock, kapasitas yang dapat menjadikan negeri ini salah satu pemasok terbesar SAF berbasis residu.

Namun potensi besar ini hanya bisa terealisasi bila fondasi tata kelola diperkuat. IPOSS menekankan pentingnya:

  • penetapan HS code khusus POME,
  • penyusunan standar mutu,
  • pengawasan rantai pasok,
  • sistem traceability yang dapat diaudit.

Baca juga: Minyak Jelantah Jadi Bahan Bakar Pesawat, Pertamina Luncurkan Program UCollect

“Tanpa sistem jejak yang kuat, konsistensi dan kualitas bahan baku tidak akan terjaga,” ujar Dimas H.P dari IPOSS.

Di sisi hilir, Indonesia telah menargetkan penggunaan campuran SAF mulai 2026. Artinya, kejelasan regulasi bahan baku akan menentukan apakah POME menjadi keunggulan industri atau hanya peluang yang berlalu.

Momentum Strategis untuk Kebijakan Energi dan Sawit Berkelanjutan

Pengakuan ICAO memberi Indonesia legitimasi ilmiah sekaligus posisi tawar baru dalam ekonomi energi bersih. Tetapi manfaatnya hanya akan maksimal jika pemerintah mengintegrasikan langkah ini ke dalam:

  • kebijakan percepatan industri SAF,
  • roadmap dekarbonisasi penerbangan,
  • reformasi tata kelola sawit,
  • investasi teknologi konversi HEFA.

Baca juga: Aviasi di Titik Balik, Taruhan Besar Menuju Penerbangan Rendah Karbon

POME adalah bukti bahwa residu industri dapat naik kelas menjadi bagian transisi energi. Kini, tugas Indonesia adalah memastikan transisi ini berlangsung adil, transparan, dan berbasis data. ***

Foto: Dok. U.S. Department of Energy Pesawat komersial melintas di atas fasilitas penyimpanan biofuel di area bandara, menggambarkan transisi menuju bahan bakar penerbangan berkelanjutan berbasis residu.

Bagikan