Makanan Sekolah tak Sekadar Kenyang, Saatnya Peduli Gizi dan Lingkungan

KUALITAS makanan di sekolah kini menjadi perhatian global. Dalam laporan terbarunya, Education and Nutrition: Learn to Eat Well, UNESCO mengungkap fakta mengejutkan: 27 persen makanan sekolah di dunia disiapkan tanpa keterlibatan ahli gizi.

Dari 187 negara yang dikaji, hanya 93 yang memiliki regulasi atau pedoman resmi terkait makanan yang disajikan di sekolah. Artinya, lebih dari separuh negara di dunia masih membiarkan anak-anak mengonsumsi makanan tanpa jaminan gizi yang tepat selama jam belajar.

Antara Gizi dan Prestasi Belajar

Makanan bergizi bukan hanya urusan dapur. UNESCO menekankan bahwa asupan gizi yang baik berkaitan langsung dengan kesehatan dan hasil belajar siswa. Data menunjukkan bahwa makanan sekolah yang sehat mampu meningkatkan pendaftaran siswa sebesar 9 persen, menaikkan angka kehadiran sebesar 8 persen, serta memperkuat kemampuan belajar mereka.

Baca juga: Pangan Berkelanjutan Atasi Kekurangan Gizi 300 Juta Orang

Namun, kenyataannya masih jauh dari harapan. Kurangnya regulasi makanan sekolah telah menyumbang pada kenaikan obesitas anak usia sekolah. Sejak 1990, angka obesitas pada kelompok ini telah lebih dari dua kali lipat di banyak negara.

Dari Kantin ke Kurikulum

UNESCO menyerukan reformasi menyeluruh. Tidak hanya pada makanan yang disediakan di kantin, tetapi juga pada makanan yang dijual melalui mesin otomatis dan jajanan sekolah. Selain itu, UNESCO menyarankan agar pendidikan tentang makanan dimasukkan ke dalam kurikulum.

Tujuannya jelas: membentuk kebiasaan makan yang sehat sejak dini. Anak-anak perlu memahami dari mana makanan berasal, apa dampaknya terhadap tubuh, dan bagaimana makanan yang mereka pilih bisa mempengaruhi planet.

UNESCO menyerukan reformasi makanan sekolah agar lebih bergizi dan berkelanjutan. Menu sehat bukan sekadar pilihan, tapi investasi bagi masa depan anak-anak. Foto: Ilustrasi/ Yan Krukau/ Pexels.

Koki berbintang Michelin Daniel Humm, kini Duta Besar Niat Baik UNESCO, ikut bersuara. Ia menyebut sekolah sebagai tempat strategis untuk membentuk kebiasaan sehat. “Ini bukan hanya soal menu. Ini tentang pelajaran aktif yang membangun hubungan positif dengan makanan,” ujar Humm.

Solusi dari Lapangan, dari Brasil hingga India

Beberapa negara telah menunjukkan bahwa reformasi ini mungkin dilakukan. Di Brasil, pemerintah sekolah membatasi makanan olahan dan mengutamakan bahan lokal segar. Hasilnya, kesehatan siswa meningkat dan petani lokal terbantu.

China mengambil langkah lain: memperkenalkan susu, telur, dan sayuran ke sekolah-sekolah pedesaan yang sebelumnya hanya mengandalkan karbohidrat. India memperlihatkan bahwa memasukkan jewawut organik ke dalam menu sekolah dapat meningkatkan daya ingat dan fokus siswa.

Baca juga: Homesteading, Hidup Mandiri di Tengah Modernisasi

Program-program ini menjadi contoh praktik baik yang bisa direplikasi. Kuncinya ada pada integrasi antara sektor pendidikan, pertanian, dan kesehatan.

Menuju Sistem Pendidikan yang Sehat dan Berkelanjutan

UNESCO juga menyiapkan perangkat praktis untuk mendorong perubahan. Manual, pelatihan, dan panduan teknis sedang dikembangkan untuk mendukung pemerintah dalam merancang sistem makanan sekolah yang sehat dan berkelanjutan.

Lebih dari sekadar gizi, pendekatan ini membawa dampak lingkungan. Menggunakan bahan makanan lokal mengurangi jejak karbon dari transportasi pangan. Ini berarti, setiap piring makanan di sekolah bisa menjadi bagian dari solusi krisis iklim.

Baca juga: Limbah Makanan Bergizi untuk Pupuk Ramah Lingkungan

Isu makanan sekolah tak lagi bisa dianggap remeh. Ia menyangkut masa depan generasi muda, ketahanan pangan, hingga keberlanjutan bumi. Indonesia, seperti banyak negara lain, memiliki peluang besar untuk memperbaiki sistem ini—asal ada kemauan politik dan dukungan dari masyarakat. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *