Program 17 pusat Karbon Biru digadang jadi solusi serap emisi dan dorong ekonomi pesisir. Tapi, mampukah regulasi dan tata kelola menjawab tantangan?
KEMENTERIAN Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan 17 lokasi sebagai pusat Karbon Biru untuk penyerapan emisi. Dari pesisir Jawa hingga rencana menjadikan Bangka Belitung sebagai carbon free island, langkah ini diproyeksikan menjadi bukti komitmen Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim.
Namun, di balik ambisi itu, ada pertanyaan besar. Apakah tata kelola, regulasi, dan kapasitas masyarakat cukup siap menjadikan karbon biru sebagai instrumen strategis?
Ekosistem Laut sebagai “Bank Karbon”
Ekosistem pesisir, terutama lamun dan mangrove, adalah penyerap karbon alami paling efisien. Penelitian menunjukkan lamun bisa menyerap hingga 82 ribu ton CO₂ per kilometer persegi. Potensi ini sejalan dengan arah global yang mulai mengakui blue carbon sebagai aset penting dalam perdagangan karbon.
Bagi Indonesia, negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, potensi ini bukan sekadar isu lingkungan, melainkan aset ekonomi. Jika regulasi pasar karbon berjalan, ekosistem pesisir dapat menjadi sumber pendapatan baru sekaligus kontribusi nyata dalam mencapai target Net Zero 2060.
Regulasi, Kunci atau Penghambat?
Dirjen Penataan Ruang Laut KKP, Kartika Listriana, menegaskan perlunya regulasi baku untuk mengukur karbon di ekosistem laut. Saat ini, mekanisme metodologi penghitungan karbon biru belum sepenuhnya terintegrasi dengan pasar global. Tanpa standar internasional, sulit bagi Indonesia memonetisasi cadangan karbon lautnya.
Baca juga: Ekonomi Biru, Menyelamatkan Laut di Tengah Minimnya Investasi
Selain itu, Perpres Nilai Ekonomi Karbon dan turunan UU Cipta Kerja harus benar-benar berpihak pada keberlanjutan, bukan sekadar membuka ruang investasi. Risiko terbesar dari lemahnya regulasi adalah eksploitasi ekosistem pesisir dengan label hijau semu (greenwashing).
Masyarakat Pesisir, Subjek atau Objek?
Program karbon biru digadang-gadang bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Namun, pertanyaan kritis muncul, sejauh mana masyarakat pesisir dilibatkan sebagai aktor utama?

Pengalaman pembangunan konservasi laut sebelumnya menunjukkan, jika partisipasi masyarakat minim, proyek lingkungan hanya berakhir di atas kertas. Padahal, nelayan, petambak, hingga komunitas lokal adalah pihak yang sehari-hari bersinggungan langsung dengan ekosistem tersebut.
Baca juga: Indonesia, Pemain Kunci di Pasar Karbon Dunia
Jika karbon biru ingin berhasil, mereka harus diposisikan sebagai subjek, bukan sekadar penerima manfaat. Skema kemitraan publik-swasta (PPP) bisa menjadi jalan tengah, asalkan distribusi nilai ekonomi adil dan transparan.
Blue Economy, Antara Ambisi dan Realitas
Lima pilar ekonomi biru yang disiapkan KKP (konservasi laut, penangkapan terukur, budi daya berkelanjutan, pengendalian pesisir, dan pembersihan sampah plastik) adalah agenda yang visioner. Tetapi, tantangan implementasi tetap besar. Tumpang tindih tata ruang, lemahnya pengawasan, dan konflik kepentingan ekonomi jangka pendek.
Indonesia memang memiliki modal alam yang melimpah. Namun, tanpa tata kelola lintas sektor yang kuat, karbon biru hanya akan menjadi jargon baru di tengah pusaran politik iklim global.
Baca juga: Ekonomi Biru, Meretas Masa Depan Berkelanjutan Asia Tenggara
Inisiatif 17 pusat karbon biru bisa menjadi lompatan besar. Jika sukses, Indonesia bukan hanya berkontribusi pada mitigasi iklim, tapi juga memposisikan diri sebagai pionir blue carbon economy. Namun, kegagalan dalam aspek tata kelola dan regulasi justru berisiko menambah daftar proyek ambisius yang tak berumur panjang.
Pertanyaannya kini, apakah Indonesia benar-benar siap menjadikan karbon biru sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan, atau sekadar menambah daftar jargon kebijakan yang indah di atas kertas? ***
- Foto: NOAA – Padang lamun sebagai penyerap karbon biru. Ekosistem ini kini masuk rencana pemerintah untuk mendukung perdagangan karbon dan ekonomi pesisir.