Ketika Politik Menabrak ESG, Putusan Texas dan Pelajaran untuk Indonesia

LANGKAH Texas untuk membatasi penggunaan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam rekomendasi proxy menghadapi tembok hukum. Seorang hakim federal di Amerika Serikat memutuskan menunda berlakunya Senate Bill 2337, regulasi yang seharusnya efektif pada 1 September 2025. Putusan ini bukan sekadar urusan lokal Texas. Dampaknya bergaung hingga ranah tata kelola investasi global, termasuk bagi pasar negara berkembang seperti Indonesia.

Putusan yang Mengguncang

Hakim Alan Albright dari Pengadilan Distrik Barat Texas mengabulkan permohonan preliminary injunction yang diajukan Institutional Shareholder Services (ISS) dan Glass Lewis, dua perusahaan penasihat proxy terbesar di AS. Keduanya menilai UU tersebut merugikan klien institusional yang mengandalkan analisis berbasis ESG untuk pengambilan keputusan investasi.

Menurut Albright, aturan Texas bertentangan dengan hukum federal, khususnya Employee Retirement Income Security Act (ERISA) yang memberi ruang bagi pengelola dana pensiun untuk mempertimbangkan risiko ESG. Selain itu, UU dinilai melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS karena memaksa pihak swasta mengadopsi sudut pandang pemerintah.

Hakim juga menyoroti pasal-pasal yang kabur dan diskriminatif, karena hanya membatasi analisis yang mendukung ESG, sementara pandangan sebaliknya dibiarkan.

Baca juga: Trump Batalkan Proyek Angin Lepas Pantai, Masa Depan Energi Bersih AS Terancam

Dalam kata-katanya, sebagaimana dikutip ESG News, Albright menegaskan: “S.B. 2337 mendiskriminasi pandangan tertentu dengan mengenakan regulasi ketat pada satu sisi, tetapi tidak pada sisi lain. Lebih buruk lagi, aturan ini memaksa pembicara swasta untuk menggemakan pandangan pemerintah dalam isu yang sangat diperdebatkan.”

Pertarungan Politik dan Ekonomi

Senate Bill 2337 lahir dari semangat anti-ESG yang tengah menguat di sejumlah negara bagian konservatif di AS. Pandangan mereka, faktor ESG dianggap bias politik dan dapat merugikan kepentingan bisnis tradisional, terutama sektor energi fosil. Texas sebagai negara bagian produsen minyak terbesar menjadi garda depan perlawanan terhadap narasi keberlanjutan.

Palu hakim jatuh di Texas. UU anti-ESG kandas sementara, ESG tetap jadi standar penting dalam tata kelola investasi. Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Namun, bagi ISS dan Glass Lewis, aturan itu bukan hanya soal politik. Mereka menegaskan bahwa analisis berbasis ESG membantu investor mengukur risiko nyata seperti perubahan iklim, tata kelola buruk, atau praktik diskriminatif di tempat kerja. “Kami menyediakan analisis berbasis data agar klien dapat membuat keputusan voting sendiri,” kata juru bicara ISS.

Baca juga: Mahkamah Internasional: Negara Abai Iklim Bisa Digugat

Relevansi bagi Indonesia

Bagi Indonesia, putusan ini membawa beberapa pelajaran. Pertama, politik bisa memengaruhi ruang gerak kebijakan keberlanjutan, bahkan di negara dengan sistem hukum mapan seperti AS. Kedua, standar global terkait ESG tidak bisa dipisahkan dari praktik investasi lintas negara. Pengelola dana pensiun, sovereign wealth fund, maupun manajer aset asing yang masuk ke pasar Indonesia tetap membutuhkan acuan yang konsisten.

Baca juga: Lewat ESG, Indonesia Himpun Rp 305 Triliun untuk Infrastruktur Hijau

Jika negara bagian di AS bisa memaksa narasi anti-ESG, bagaimana dengan Indonesia yang sedang membangun ekosistem pasar karbon, green bonds, dan regulasi keberlanjutan? Kasus Texas menunjukkan pentingnya kepastian hukum dan konsistensi kebijakan. Tanpa itu, investor bisa ragu menempatkan modal jangka panjang di sektor hijau.

Putusan Texas menahan UU anti-ESG memberi empat pelajaran penting bagi Indonesia. Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Ke Mana Arah Berikutnya?

Meski putusan ini baru bersifat sementara, sinyal yang muncul jelas, pengadilan federal enggan memberi ruang bagi negara bagian untuk mendikte konten analisis independen. Texas kemungkinan besar akan mengajukan banding. Namun, bagi sementara waktu, ISS dan Glass Lewis bebas memberikan rekomendasi tanpa harus memberi label “ESG” sebagai stigma.

Bagi pelaku usaha dan regulator di Indonesia, dinamika ini layak dipantau. ESG bukan sekadar tren global, melainkan standar tata kelola yang berhadapan dengan resistensi politik. Jika negara maju saja bergulat dengan tarik-menarik ini, Indonesia perlu lebih waspada dalam menyiapkan regulasi yang seimbang antara kepastian investasi dan komitmen keberlanjutan. ***

  • Foto: Ilustrasi/  Talena Reese/ Pexels – Texas kembali jadi sorotan. Putusan hakim federal soal UU anti-ESG memberi sinyal penting bagi dunia investasi hijau.
Bagikan