LADANG pertanian yang selama ini menjadi sumber pangan justru menyimpan ancaman tersembunyi: mikroplastik. Temuan ini diungkap dalam studi terbaru yang terbit di jurnal Environmental Sciences Europe. Peneliti mengungkap bahwa konsentrasi mikroplastik di tanah pertanian bisa 23 kali lebih tinggi dibandingkan di lautan.
Penelitian yang dipimpin oleh Joseph Boctor, kandidat doktor dari Murdoch University, menyoroti bahaya mikro dan nanoplastik yang tak hanya merusak lingkungan, tetapi juga membahayakan kesehatan manusia melalui rantai makanan.
Sumber dari Pertanian Sendiri
Salah satu sumber utama mikroplastik di lahan pertanian adalah plastik pertanian seperti mulsa—lembaran plastik tipis yang digunakan untuk menutup permukaan tanah. Praktik ini memang meningkatkan hasil panen secara instan. Namun dalam jangka panjang, residu plastik justru mengendap di tanah dan mengubah lahan produktif menjadi lautan limbah.
Boctor menyebut fenomena ini sebagai “pergeseran dari tanah penghasil makanan menjadi tempat pembuangan plastik.”
Baca juga: Mikroplastik Pangkas Panen Asia, 400 Juta Orang Berisiko Kelaparan
Tak hanya dari pertanian, mikroplastik juga berasal dari limbah domestik, pupuk organik yang tercemar, hingga hujan yang membawa partikel mikro dari atmosfer.
Tanaman Juga Tercemar
Lebih mengkhawatirkan lagi, mikro dan nanoplastik tidak hanya tertinggal di permukaan tanah. Riset menunjukkan, akar tanaman dapat menyerap partikel-partikel ini. Dampaknya, zat asing ini ikut masuk ke dalam tubuh tanaman, lalu berakhir di piring makan kita.

Beberapa studi sebelumnya menemukan mikroplastik dalam apel, pir, makanan laut, dan bahkan susu. Studi lain pada 2024 menyebutkan, mikroplastik yang tertelan bisa menyebar ke berbagai organ tubuh manusia, termasuk otak.
Dampak pada Ekosistem Tanah
Tanah sehat adalah fondasi pertanian berkelanjutan. Namun mikroplastik merusak ekosistem tanah. Polutan plastik ini menurunkan keragaman mikroba, mengganggu keseimbangan pH, serta merusak struktur dan kemampuan tanah menyerap air dan menyimpan nutrisi.
Baca juga: Studi Greenpeace-UI: Mikroplastik Mengancam Fungsi Otak
Tanaman yang tumbuh di tanah tercemar mengalami penurunan kemampuan fotosintesis, stres oksidatif, serta menurunnya nilai gizi. Ini bisa berdampak pada ketahanan pangan dalam jangka panjang.
Tantangan dan Inovasi
Boctor menilai, tantangan terbesar dalam mengendalikan mikroplastik adalah ketertinggalan regulasi dibanding kecepatan inovasi industri. “Kebijakan publik selalu tertinggal dari teknologi, dan industri bergerak lebih cepat dari keduanya,” katanya.
Namun harapan tak sepenuhnya padam. Tim Boctor yang tergabung dalam Bioplastic Innovation Hub—kolaborasi antara Murdoch University dan lembaga penelitian Australia CSIRO—sedang mengembangkan alternatif plastik yang lebih aman dan bisa terurai.
Baca juga: Bumi Tertekan, Studi Ungkap 31 Juta Km² Lahan Telah Dimodifikasi
Salah satu proyek unggulan mereka adalah Smart Sprays, teknologi berbasis bioplastik yang membentuk lapisan pelindung air di tanah. Teknologi ini diharapkan mampu mengurangi penguapan air sekaligus menjadi solusi ramah lingkungan bagi sektor pertanian.
Refleksi untuk Indonesia
Bagi negara agraris seperti Indonesia, temuan ini adalah peringatan keras. Penggunaan plastik di sektor pertanian harus ditinjau ulang. Inovasi harus dikawal regulasi yang progresif dan berpihak pada keberlanjutan.
Mengganti mulsa plastik dengan bahan organik, memperketat standar pupuk dan kompos, serta mendidik petani soal bahaya mikroplastik adalah langkah awal yang harus segera diambil.
Jika tidak, kita berisiko mewariskan ladang yang tidak lagi bisa menumbuhkan pangan, melainkan hanya menumpuk plastik. ***
- Foto: Ilustrasi/ Tim Mossholder/ Pexels.