Reboisasi 12 Juta Hektare, Komitmen Iklim Indonesia di Panggung Dunia

KOMITMEN Indonesia dalam menghadapi krisis iklim kembali ditegaskan di forum tertinggi dunia. Dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB ke-80, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menekankan tekad pemerintah untuk mereboisasi 12 juta hektare hutan terdegradasi.

Langkah ini, kata Prabowo, bukan hanya soal memperbaiki ekosistem yang rusak, tetapi juga menciptakan pekerjaan hijau yang berkualitas bagi masyarakat. “Kami bertujuan untuk mereboisasi lebih dari 12 juta hektare hutan terdegradasi, untuk mengurangi degradasi hutan, dan memberdayakan masyarakat lokal dengan pekerjaan hijau yang berkualitas,” ujarnya, Selasa (23/9) waktu setempat.

Dari Hutan ke Energi Terbarukan

Pidato di New York itu memperlihatkan arah baru pembangunan Indonesia. Prabowo menyebut transisi energi sebagai kunci untuk keluar dari ketergantungan pada bahan bakar fosil. Indonesia, tegasnya, tetap berada pada jalur Perjanjian Paris 2015, dengan target mencapai emisi nol bersih pada 2060.

Baca juga: 190 Tambang Disetop, Ujian Serius Tata Kelola Minerba Indonesia

Namun, Prabowo menambahkan keyakinannya bahwa target itu bisa dicapai lebih cepat. Optimisme ini didasarkan pada potensi besar energi surya, panas bumi, dan biomassa yang dimiliki Indonesia. Tantangannya, tentu, terletak pada pembiayaan, regulasi, dan kepastian investasi yang selama ini menjadi pekerjaan rumah.

Menghubungkan Iklim dan Kemiskinan

Salah satu titik penting dalam pidato Prabowo adalah keterkaitan isu iklim dengan agenda sosial. Menurutnya, pengendalian perubahan iklim bukan sekadar tanggung jawab global, tetapi juga strategi untuk mengangkat masyarakat keluar dari jerat kemiskinan.

Baca juga: Perampasan Lahan Adat Meluas, UU Perlindungan Masih Mandek

“Tujuan kami jelas, untuk mengangkat seluruh warga negara kami keluar dari kemiskinan dan menjadikan Indonesia sebagai pusat solusi ketahanan pangan, energi, dan air,” katanya. Pernyataan ini menegaskan bahwa agenda lingkungan harus berjalan seiring dengan agenda kesejahteraan.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Di mata pengambil kebijakan, pesan ini menjadi relevan. Sebab, banyak program iklim global yang gagal mendapat dukungan politik karena tidak menunjukkan manfaat langsung bagi masyarakat. Dengan mengaitkan iklim pada lapangan kerja, pangan, energi, dan air, Prabowo menempatkan isu ini dalam kerangka pembangunan nasional yang lebih inklusif.

Tantangan Implementasi

Meski ambisi besar telah diumumkan, pertanyaan publik tetap mengemuka, bagaimana implementasinya? Rekam jejak program reboisasi di Indonesia sering kali menghadapi kendala teknis dan korupsi anggaran.

Selain itu, laju deforestasi di sejumlah wilayah masih tinggi, terutama akibat ekspansi perkebunan dan tambang. Jika tantangan ini tidak diatasi, komitmen reboisasi 12 juta hektare bisa berakhir sebatas janji.

Baca juga: Darurat Ekologi, Satwa Liar Sumatera dan Sulawesi Terdesak Perkebunan dan Tambang

Dari sisi energi, investasi di sektor terbarukan memang meningkat, tetapi kontribusinya terhadap bauran energi nasional masih rendah. Data Kementerian ESDM menunjukkan, hingga 2023 porsi energi terbarukan baru sekitar 14 persen. Jalan menuju emisi nol bersih masih panjang dan penuh hambatan.

Momentum Politik

Pidato Prabowo di PBB tidak hanya berfungsi sebagai komitmen internasional, tetapi juga sebagai pesan politik domestik. Di tengah sorotan global, Indonesia berusaha memposisikan diri sebagai bagian dari solusi, bukan sumber masalah.

Bagi kalangan praktisi keberlanjutan, sinyal politik ini membuka ruang baru untuk kolaborasi. Pemerintah dituntut lebih serius menggandeng sektor swasta, lembaga riset, dan komunitas lokal agar komitmen internasional tidak berhenti pada level diplomasi. ***

  • Foto: Instagram/ presidenindonesia – Presiden RI Prabowo Subianto saat menyampaikan pidato di Sidang Majelis Umum PBB ke-80 di New York, 23 September 2025. Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan komitmen Indonesia terhadap reboisasi dan transisi energi terbarukan.
Bagikan