EMPAT pendaki asal Inggris baru saja mencatat sejarah baru dalam dunia pendakian. Mereka berhasil menaklukkan Gunung Everest dalam waktu kurang dari lima hari sejak keberangkatan dari London—tanpa aklimatisasi konvensional yang biasanya memakan waktu berminggu-minggu. Kuncinya? Sebuah inovasi teknologi berbasis gas Xenon.
Gas mulia yang selama ini dikenal di dunia medis sebagai anestesi ringan, kini diuji coba sebagai alat bantu aklimatisasi ekstrem. Tim pendaki ini merupakan kelompok pertama yang berhasil mencapai puncak tertinggi di dunia dengan dukungan Xenon, dalam sebuah ekspedisi yang diorganisasi oleh Furtenbach Adventures, perusahaan berbasis di Austria.
Aklimatisasi Cepat, Risiko Minim
Biasanya, para pendaki Everest harus melewati proses aklimatisasi yang panjang di kaki gunung. Tubuh mereka dilatih secara bertahap untuk menyesuaikan diri dengan kondisi hipoksia—kekurangan oksigen akibat ketinggian ekstrem. Tanpa proses ini, pendaki bisa mengalami acute mountain sickness (AMS), edema paru, bahkan kematian.
Baca juga: Nanoplastik di Pegunungan Alpen, Ancaman tak Terlihat dari Partikel Ban
Namun, tim Inggris ini mengikuti protokol berbeda. Sebelum mendaki, mereka menjalani sesi inhalasi gas Xenon di sebuah laboratorium di Jerman. Gas ini dipercaya mempercepat penyesuaian tubuh terhadap kondisi oksigen rendah. Mereka juga berlatih di dalam tenda hipoksia—tenda khusus yang mensimulasikan lingkungan dataran tinggi—selama masa persiapan.
Di gunung, mereka tetap menggunakan oksigen tambahan seperti pendaki lainnya. Namun aklimatisasi cepat yang dibantu Xenon memungkinkan mereka memotong waktu pendakian secara signifikan, serta mengurangi paparan risiko.
Efisiensi dan Jejak Ekologis
Menurut Furtenbach Adventures, pendekatan baru ini bukan hanya soal kecepatan. Ekspedisi yang lebih singkat berarti konsumsi sumber daya lebih rendah. Lebih sedikit makanan, bahan bakar, dan logistik diperlukan. Juga, jumlah limbah manusia—isu serius di lingkungan sensitif seperti Everest—jauh lebih kecil.
Baca juga: Gunung Fuji dan Ancaman Letusan, Seberapa Siap Jepang?
“Ini adalah cara pendakian yang lebih bersih dan lebih aman,” kata Furtenbach dalam pernyataannya dikutip Independent. Ia menambahkan bahwa Xenon selama ini hanya digunakan oleh pemandu profesional dalam ekspedisi pribadi, dan ini adalah kali pertama klien umum memakainya.

Pro dan Kontra di Komunitas Pendaki
Meski demikian, tidak semua pihak mendukung penggunaan teknologi ini. Adrian Ballinger, pendaki veteran sekaligus pemilik Alpenglow Expeditions, menyatakan penolakannya.
“Bagi saya, pendakian adalah soal proses, bukan hanya pencapaian. Jika seseorang merasa bangga dengan metode mereka, itu hak mereka. Tapi saya memilih jalur yang lebih tradisional,” ujarnya.
Baca juga: Dieng, Keajaiban di Atas Awan yang Kini Jadi Geopark Nasional
Komentarnya menggambarkan dilema etika dan nilai yang kerap muncul di komunitas pendaki: antara kemurnian pengalaman dan efisiensi modern.
Refleksi untuk Praktik Keberlanjutan
Inovasi ini membuka diskusi penting tentang masa depan pendakian gunung, terutama dalam konteks keberlanjutan. Di satu sisi, teknologi seperti Xenon dapat meminimalkan jejak ekologis ekspedisi. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa pendekatan cepat ini bisa mendorong komersialisasi lebih jauh, bahkan merusak semangat konservasi dan kesadaran lingkungan yang semestinya dijunjung tinggi dalam aktivitas alam terbuka.
Bagi Indonesia—dengan banyaknya destinasi pendakian dan meningkatnya minat terhadap eco-tourism—pengalaman ini menjadi pelajaran penting. Bisakah teknologi diterapkan tanpa mengorbankan nilai dan keseimbangan alam? ***
- Foto: Tom Fly/ Pexels – Gunung Everest yang megah saat matahari terbit.