TKD Ditahan, Ada Apa dengan Tata Kelola Keuangan Daerah?

PEMERINTAH pusat menahan kenaikan Transfer ke Daerah (TKD) untuk tahun anggaran 2026. Alasannya sederhana tapi mendasar, tata kelola keuangan daerah masih jauh dari ideal. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut, Presiden Prabowo belum menyetujui penambahan TKD karena masih banyak kasus penyimpangan dan lemahnya akuntabilitas di tingkat daerah.

Purbaya bahkan terang-terangan menyebut, “sering diselewengkan uang di daerah”. Sebuah pernyataan yang menggambarkan kegelisahan lama. Dua dekade setelah desentralisasi fiskal, efektivitas pengelolaan keuangan daerah masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Desentralisasi yang Belum Tuntas

Sejak era otonomi dimulai, dana transfer telah menjadi tulang punggung pembangunan daerah. Tujuannya mulia, mengurangi ketimpangan antarwilayah dan memperkuat pelayanan publik. Namun, kenyataannya masih banyak daerah yang belum siap secara kelembagaan dan sumber daya manusia.

Laporan BPK menunjukkan, lebih dari separuh pemerintah daerah masih mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dalam laporan keuangan 2023. Banyak anggaran yang tidak terserap, program tidak sinkron dengan kebutuhan lokal, dan data realisasi yang kerap tumpang tindih dengan output pembangunan.

Bukan jumlah uang yang menjadi masalah, melainkan bagaimana uang itu dikelola.

Risiko “Money without Governance”

Kenaikan TKD tanpa perbaikan tata kelola hanya akan memperbesar potensi kebocoran. Indeks Transparansi Fiskal Daerah 2024 yang stagnan di angka 63/100 menunjukkan lemahnya integritas fiskal. Bahkan per September 2025, masih ada lebih dari Rp153 triliun dana APBD yang mengendap di kas daerah.

Baca juga: PLTSa di 33 Provinsi, Solusi Hijau atau Beban Baru?

Kondisi ini menunjukkan paradoks desentralisasi. Daerah menuntut lebih banyak dana, tapi belum menunjukkan kinerja pengelolaan yang transparan dan berdampak. Padahal, keberlanjutan fiskal adalah prasyarat utama bagi keberhasilan pembangunan berkelanjutan, termasuk agenda hijau seperti transisi energi, ketahanan pangan, dan adaptasi iklim.

Momentum Reformasi Fiskal Hijau

Purbaya menyebut pemerintah akan meninjau ulang penyaluran TKD pada kuartal IV 2025 dan kuartal I 2026. Ini seharusnya menjadi momentum untuk melangkah lebih jauh, mendorong green governance di daerah.

Negara seperti India dan Brazil sudah lebih maju lewat skema ecological fiscal transfer. Daerah yang menjaga hutan, menekan emisi, atau memperbaiki tata kelola lingkungan mendapatkan porsi transfer fiskal lebih besar. Indonesia bisa meniru pola serupa, mengaitkan besaran TKD dengan indikator transparansi, kinerja lingkungan, dan dampak sosial.

Baca juga: Rp610 Triliun Sudah Dibelanjakan, Apa Dampaknya bagi Ketahanan Iklim?

Jika tata kelola fiskal hijau diterapkan, kenaikan TKD tidak lagi dilihat sebagai beban, tapi sebagai investasi menuju pemerintahan daerah yang akuntabel dan berkelanjutan.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Menahan kenaikan TKD bukanlah hukuman, melainkan wake-up call untuk membenahi akuntabilitas publik. Kalau reformasi tata kelola daerah tak dilakukan sekarang, maka desentralisasi fiskal hanya akan terus menjadi jargon—tanpa jejak pembangunan yang nyata. ***

  • Foto: Instagram/ purbayayudhi_officialMenteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, 6 Oktober 2025. Pemerintah menekankan pentingnya pengawasan dan efektivitas belanja publik untuk kesejahteraan rakyat.
Bagikan