Transisi Energi: Komitmen Menggebu, Aksi Masih Abu-abu

INDONESIA kembali menjadi sorotan dalam laporan terbaru Climate Analytics bertajuk “The Impact of Global Climate Pledges on National Action: A Snapshot Across Asia”. Dalam studi ini, Indonesia bersama tujuh negara Asia lainnya dinilai belum menunjukkan kemajuan berarti dalam mewujudkan komitmen transisi energi internasional.

Laporan tersebut menggarisbawahi satu ironi: di atas kertas, komitmen Indonesia terlihat ambisius. Tapi realisasinya di lapangan jauh tertinggal.

Komitmen Global, Aksi Lokal Minim

Pada Konferensi Iklim PBB ke-26 (COP26), Indonesia menandatangani Global Coal to Clean Power Transition Statement. Pemerintah juga menargetkan penghentian seluruh PLTU batu bara pada 2056 lewat peta jalan netral karbon yang dirancang Kementerian ESDM. Bahkan, pada KTT G20 di Brasil tahun lalu, presiden menyatakan rencana lebih ambisius: menghentikan seluruh pembangkit berbasis energi fosil sebelum 2040.

Namun, hingga kini, belum ada kerangka kebijakan atau rencana aksi nasional yang konkret untuk mewujudkan target-target tersebut.

Sebaliknya, kapasitas PLTU justru bertambah. Sejak 2023, ada proyek PLTU batu bara baru berkapasitas 1 gigawatt yang mulai dikonstruksi atau mengantongi izin. Kini, batu bara menyumbang sekitar 45 persen dari total kapasitas pembangkitan listrik nasional.

Baca juga: Batu Bara Masih Jadi Andalan, ke Mana Arah Transisi Energi Indonesia?

Tak hanya itu, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024–2060 justru memproyeksikan penambahan PLTU hingga 76,5 GW—naik 26,8 GW dari proyeksi sebelumnya.

Asap mengepul dari cerobong PLTU—simbol kuat ketergantungan terhadap energi fosil di tengah tuntutan transisi hijau. Foto: Ilustrasi/ Marcin Jozwiak/ Pexels.

Investasi Energi Terbarukan, Masih Jauh dari Potensi

Sektor energi terbarukan juga belum menunjukkan pertumbuhan berarti. Potensi energi surya dan angin Indonesia sangat besar. Tapi, realisasinya masih rendah.

Pada 2023, nilai investasi proyek energi terbarukan di Indonesia hanya mencapai 400 juta dolar AS. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan Thailand. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan energi terbarukan yang rumit dan kurang menarik bagi investor.

“Komitmen global seringkali bersifat sukarela dan tidak mengikat. Akibatnya, dampaknya terbatas jika tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan domestik yang konkret,” ujar Nandini Das, salah satu penulis laporan.

Baca juga: Hibah 14,7 Juta Euro, Dorongan Baru untuk Transisi Energi Indonesia

Emisi Metana Malah Naik

Indonesia juga telah bergabung dalam Global Methane Pledge di COP26, dengan target menurunkan emisi metana 30 persen di bawah tingkat 2022 pada tahun 2030. Namun data terbaru justru menunjukkan emisi metana Indonesia naik 7 persen antara 2022 dan 2023.

Pemerintah belum memiliki strategi jelas untuk mengurangi emisi ini, baik di sektor pertanian, energi, maupun limbah.

“Banyak komitmen yang belum tercermin dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). NDC 2025 menjadi ujian penting apakah janji global bisa mendorong tindakan nyata atau hanya menjadi jargon diplomasi,” kata Thomas Houlie, penulis utama laporan.

Tren Regional, Asia Masih Bergantung Fosil

Selain Indonesia, laporan juga menyebut Filipina, Vietnam, Korea Selatan, Jepang, dan Singapura belum berhasil mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Beberapa bahkan terus menambah kapasitas PLTU dan proyek impor gas alam cair.

Baca juga: Transisi Energi Indonesia, Tantangan Komitmen atau Keterbatasan Anggaran?

Hal ini menunjukkan bahwa hambatan menuju transisi energi berkelanjutan bersifat sistemik dan regional. Tidak cukup hanya dengan komitmen internasional. Diperlukan keselarasan antara janji dan kebijakan, serta insentif ekonomi yang mendukung energi bersih.

Jalan Panjang Menuju Transisi Nyata

Bagi Indonesia, tantangannya kini bukan lagi soal komitmen, melainkan konsistensi dalam pelaksanaannya. Penguatan kebijakan nasional, insentif investasi energi terbarukan, serta penghapusan subsidi batu bara harus menjadi bagian dari langkah konkret ke depan.

Transisi energi bukan sekadar janji di forum internasional. Ia adalah ujian kepemimpinan, keberanian politik, dan kepedulian terhadap generasi masa depan. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *