HINGGA Mei 2025, jumlah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia mencapai 57 juta unit. Dari angka tersebut, sekitar 95 persen masuk kategori usaha mikro. Angka ini menunjukkan betapa strategisnya sektor UMKM dalam menopang ekonomi nasional. Namun, di balik kontribusi besarnya pada penyerapan tenaga kerja, sektor ini juga menghadapi tantangan serius, jejak karbon.
Menurut catatan 2023, UMKM menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 216 juta ton CO2, lebih dari separuh emisi sektor industri nasional pada tahun sebelumnya. Fakta ini menegaskan urgensi transformasi UMKM menuju bisnis yang ramah lingkungan.
Literasi Hijau dan Akses Pembiayaan
Menteri UMKM Maman Abdurrahman mengakui dua hambatan besar yang mengganjal transformasi. Rendahnya literasi keberlanjutan di kalangan pelaku usaha, serta terbatasnya akses pembiayaan untuk UMKM hijau. Padahal, tekanan global terhadap praktik usaha yang berkelanjutan semakin kuat.
Baca juga: Saat Dunia Bisnis Desak Percepatan Transisi Energi di Indonesia
“Ke depan, arah kebijakan dari Kementerian UMKM akan memasukkan keberpihakan kepada UMKM hijau. Tapi jangan sampai regulasi ini justru menghambat pertumbuhan usaha mikro,” ujar Maman dalam peluncuran Buku Putih: Mewujudkan Masa Depan Bisnis Berkelanjutan Melalui Pemberdayaan UMKM Hijau (16/9/2025).
Pemerintah akan menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) sebagai acuan klasifikasi UMKM ramah lingkungan. Namun, langkah ini tidak akan diambil terburu-buru. Kementerian berencana memulai dari usaha kecil dan menengah, baru kemudian menyasar usaha mikro.

Dimensi Sosial, Ojol Masuk Kategori UMKM
Isu keberlanjutan UMKM juga melebar ke sektor transportasi daring. Pemerintah berencana memasukkan pengemudi ojek online (ojol) ke dalam kategori pelaku UMKM melalui revisi Undang-Undang UMKM yang ditargetkan dibahas pada 2026.
Status hukum yang lebih jelas akan memberi dasar perlindungan sosial, jaminan keamanan, hingga insentif fiskal bagi jutaan pengemudi ojol. “Enggak bisa dikesampingkan, karena ojol bagian dari denyut ekonomi rakyat,” kata Maman.
Baca juga: Bertahun-tahun Nilam Aceh Diekspor, tapi Petaninya Tetap Tertinggal
Kebijakan ini bisa menjadi momentum untuk mendorong elektrifikasi kendaraan roda dua di sektor ojol, sekaligus memperkuat ekosistem transportasi rendah emisi.
Peluang, Rp600 Triliun dan 4 Juta Pekerjaan Hijau
Transformasi UMKM menuju arah hijau bukan sekadar wacana moral. Wakil Menteri PPN/Wakil Kepala Bappenas Febrian Alphyanto Ruddyard menekankan urgensinya. Jika UMKM mampu beroperasi dengan prinsip ramah lingkungan, dampak ekonomi yang dihasilkan bisa luar biasa.

Potensi pertumbuhan ekonomi bisa mencapai lebih dari Rp600 triliun pada 2030. Selain itu, lebih dari 4 juta lapangan kerja hijau bisa tercipta, sekaligus mempercepat pencapaian target net zero emission pada 2060.
“Ini kebutuhan mendesak, bukan pilihan,” tegas Febrian seraya menambahkan, “Apalagi kalau ojol masuk kategori UMKM, transformasi hijau menjadi keniscayaan yang harus dikelola bersama.”
Menimbang Jalan Tengah
Transformasi UMKM menuju bisnis hijau bukan perkara mudah. Di satu sisi, ada tekanan global untuk menurunkan emisi. Di sisi lain, jutaan UMKM masih berjuang bertahan di tengah kompetisi pasar dan keterbatasan modal.
Baca juga: Polusi Tersembunyi dari Dapur Tahu Tropodo: Murah Kini, Bahaya Kemudian
Kuncinya ada pada kolaborasi lintas kementerian, insentif fiskal, akses pembiayaan hijau, serta edukasi yang menyentuh langsung pelaku usaha di lapangan. Tanpa itu, wacana UMKM hijau hanya akan berhenti di tataran kebijakan.
Jika benar dijalankan, jalan panjang UMKM hijau bisa menjadi pilar baru ekonomi Indonesia. Menumbuhkan bisnis sekaligus menjaga bumi. ***
- Foto: Yazid N/ Pexels – Pasar tradisional, denyut nadi UMKM Indonesia. Di balik kontribusi besar terhadap ekonomi, sektor ini juga dituntut bertransformasi menuju usaha hijau.