Ketika Dunia Memanas, Jejak Tragis Perubahan Iklim pada 2024

GELOMBANG panas, kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan menjadi wajah kelam perubahan iklim pada 2024. Menurut laporan gabungan World Weather Attribution (WWA) dan Climate Central, suhu ekstrem yang dipicu oleh aktivitas manusia telah menewaskan sedikitnya 3.700 orang sepanjang tahun ini. Ini bukan sekadar angka, tetapi sebuah peringatan keras terhadap dunia yang semakin memanas.

41 Hari Panas Berbahaya

Pada 2024, dunia mencatat tambahan 41 hari dengan suhu panas berbahaya akibat perubahan iklim. Hari-hari ini menjadi ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang dan kepulauan kecil yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim. Gelombang panas memicu masalah kesehatan seperti dehidrasi, serangan jantung, dan kematian mendadak, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak.

Baca juga: 2024 Tahun Terpanas dalam Sejarah, Krisis Iklim Makin Nyata

Namun, angka kematian ini mungkin jauh lebih besar. Laporan tersebut hanya mencakup sebagian kecil kejadian cuaca ekstrem yang paling berdampak, meninggalkan potensi puluhan hingga ratusan ribu korban yang belum terhitung.

Bencana Alam yang Mematikan

Selain suhu ekstrem, rekor curah hujan yang meningkat akibat perubahan iklim juga menyebabkan bencana banjir yang tak terelakkan. Dari 16 kejadian banjir besar yang diteliti, 15 di antaranya dipicu oleh curah hujan ekstrem yang tak wajar. Wilayah Amazon dan lahan basah Pantanal, yang dikenal sebagai paru-paru dunia, mengalami kekeringan dan kebakaran hutan yang meluas. Akibatnya, keanekaragaman hayati di kawasan tersebut mengalami kerugian besar, mengancam ekosistem global.

Baca juga: Tunda Mitigasi Iklim, Siap-siap Kehilangan 7% Pendapatan di 2035

WWA juga menyoroti bahwa lebih dari 500.000 orang telah meninggal dalam dua dekade terakhir akibat bencana alam. Perubahan iklim berkontribusi besar terhadap jumlah korban ini, di samping faktor-faktor lain seperti kurangnya kesiapan infrastruktur dan mitigasi bencana.

Negara Berkembang di Garis Depan

Negara-negara berkembang dan kepulauan kecil terus menjadi yang paling terdampak. Minimnya pendanaan, infrastruktur, dan sumber daya membuat mereka sulit menghadapi dampak perubahan iklim. Ironisnya, negara-negara ini adalah kontributor emisi karbon yang relatif kecil dibandingkan negara-negara maju.

Baca juga: Bumi Mengering, Ancaman Kekeringan Permanen Menanti Dunia

WWA dan Climate Central menyerukan pendanaan iklim yang lebih besar untuk negara-negara berkembang. Investasi tersebut diperlukan untuk mempercepat transisi dari bahan bakar fosil ke energi bersih, meningkatkan sistem peringatan dini, dan memperbaiki pelaporan kematian akibat cuaca ekstrem.

Banjir melanda permukiman penduduk akibat curah hujan ekstrem yang dipicu perubahan iklim. Krisis ini menjadi pengingat pentingnya aksi nyata untuk mitigasi. Foto: Eslam Mohammed Abdelmaksoud/ Pexels.

Menatap Masa Depan yang Lebih Tangguh

Dunia membutuhkan aksi cepat untuk mengurangi dampak perubahan iklim di masa depan. Salah satu langkah yang disarankan adalah mempercepat transisi energi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Selain itu, sistem peringatan dini perlu diperkuat, terutama di wilayah yang rawan bencana.

Baca juga: Lapisan Es Antartika Mencair, Peringatan bagi Keberlanjutan Bumi

Laporan ini juga menyerukan pelaporan lebih akurat terkait kematian akibat panas, agar pemerintah dan organisasi dapat merancang langkah mitigasi yang lebih baik. Hanya dengan tindakan bersama, dampak buruk perubahan iklim dapat ditekan dan masa depan yang lebih tangguh dapat diwujudkan.

Belajar dari Tahun yang Panas

2024 telah menjadi peringatan keras bagi kita semua. Ini bukan lagi sekadar statistik—ini adalah cerita nyata tentang kehidupan yang hilang, keanekaragaman hayati yang terancam, dan kebutuhan mendesak untuk bertindak. Dunia tak lagi memiliki banyak waktu untuk menunda aksi.

Saat kita menutup tahun ini, pertanyaannya bukan lagi apakah perubahan iklim itu nyata, tetapi bagaimana kita akan bertindak menghadapi krisis ini. Apakah kita akan berdiam diri, ataukah kita akan berjuang demi masa depan yang lebih hijau? ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *