Sepertiga Pemanasan Global Berasal dari 14 Raksasa Energi

GELOMBANG panas kian sering dan mematikan. Dari Eropa hingga Asia, suhu ekstrem telah merenggut puluhan ribu nyawa setiap tahun. Sebuah studi terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature dan dikutip oleh Independent (11/9/2025), mengungkap temuan mengejutkan, hanya 14 perusahaan raksasa yang menyumbang hampir sepertiga pemanasan global dunia.

Penelitian ini menganalisis 213 gelombang panas yang terjadi sepanjang 2000–2023. Mulai dari musim panas 2003 di Eropa yang menewaskan lebih dari 70 ribu orang, hingga fenomena heat dome di Pasifik Barat Laut pada 2021. Hasilnya, para ilmuwan berhasil menautkan jejak panas ekstrem dengan emisi yang dihasilkan sekelompok perusahaan produsen energi fosil dan semen terbesar di dunia.

Daftar tersebut mencakup nama-nama besar seperti Saudi Aramco, ExxonMobil, BP, Shell, Gazprom, hingga perusahaan batu bara milik negara di China, India, dan Iran. Para peneliti memperkirakan bahwa aktivitas mereka bisa dikaitkan dengan 16 hingga 53 gelombang panas yang hampir mustahil terjadi tanpa kontribusi emisi.

Intensitas Meningkat Drastis

Data menunjukkan, dibandingkan era pra-industri (1850–1900), frekuensi gelombang panas meningkat tajam. Antara 2000–2009, gelombang panas 20 kali lebih mungkin terjadi. Pada periode 2010–2019, probabilitas itu melonjak menjadi 200 kali lipat.

Baca juga: Pemanasan Global Ancam 40% Ekonomi Dunia, Siapa Bisa Selamat?

Intensitasnya pun naik, rata-rata 1,4°C lebih panas pada 2000–2009, 1,7°C pada 2010–2019, dan 2,2°C pada 2020–2023. Fakta ini mempertegas bahwa emisi karbon telah mengubah sistem iklim secara radikal.

Konsekuensi Hukum dan Politik

Penemuan ini membuka jalan baru dalam gugatan hukum iklim. Selama ini, pengadilan kesulitan membuktikan hubungan langsung antara emisi perusahaan tertentu dengan bencana spesifik. Namun, bukti kuantitatif seperti ini bisa memperkuat argumen bahwa korporasi harus bertanggung jawab atas kerugian akibat cuaca ekstrem.

Data terbaru mengaitkan jejak emisi 14 perusahaan dengan lonjakan gelombang panas global. Fakta ini menegaskan urgensi kebijakan iklim yang lebih tegas. Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Bagi pemerintah, studi ini menjadi tekanan tambahan untuk mempercepat transisi energi. Kebijakan mitigasi tidak lagi cukup bersandar pada target jangka panjang, melainkan harus memaksa perubahan nyata pada aktor-aktor besar penyumbang emisi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat puluhan ribu orang meninggal setiap tahun akibat panas ekstrem. Pada 2023, lebih dari 40 ribu kematian di Eropa dikaitkan dengan gelombang panas. PBB menyebut fenomena ini sebagai “konsekuensi paling mematikan” dari krisis iklim.

Baca juga: Pemanasan Global 2°C Tak Terbendung, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Karsten Haustein, peneliti dari Universitas Leipzig, menegaskan bahwa menolak sains hanya akan memperburuk risiko. “Retorika anti-sains tidak akan menghapus tanggung jawab iklim. Gelombang panas akan semakin sering dan semakin berbahaya bila emisi tidak ditekan,” ujarnya.

Pesan untuk Indonesia

Bagi Indonesia, temuan ini relevan di tengah meningkatnya suhu ekstrem dan kebakaran hutan. Negara produsen batu bara terbesar kedua dunia ini juga berpotensi masuk sorotan bila terus mengandalkan energi kotor. Di sisi lain, peluang muncul, yakni memperkuat posisi dalam diplomasi iklim dengan mendorong akuntabilitas korporasi global.

Baca juga: PBB Ingatkan, La Nina Tak Cukup Hentikan Rekor Suhu Global

Penelitian ini pada akhirnya mengingatkan, krisis iklim bukan hanya soal perubahan cuaca, tetapi juga soal siapa yang bertanggung jawab. Dengan data yang semakin jelas, ruang untuk berkelit semakin sempit. Baik bagi perusahaan maupun negara. ***

  • Foto: Ali Cuhadaroglu/ Pexels Asap industri membayangi cakrawala kota. Studi terbaru mengaitkan emisi 14 perusahaan raksasa energi dengan lonjakan gelombang panas global.
Bagikan