Analisis terbaru di Nature menyoroti bahaya skema offset karbon yang justru memperlambat transisi energi global dan pencapaian target Perjanjian Paris.
SEBUAH analisis yang terbit di Nature mengguncang fondasi pasar karbon global. Tim pakar kebijakan iklim internasional menemukan bahwa skema offset karbon, yang memungkinkan perusahaan membeli kredit karbon untuk menutupi emisi mereka, justru menghambat pencapaian tujuan Perjanjian Paris.
Profesor Andrew Macintosh dari The Australian National University (ANU) menegaskan, untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 2°C, dunia membutuhkan pengurangan emisi nyata dan cepat, bukan “kompensasi simbolik.”
“Kredit karbon mengalihkan fokus dari penghentian bahan bakar fosil. Dengan membiarkan kredit berkualitas rendah beredar, pemerintah melemahkan harga karbon dan membuka ruang bagi keuntungan swasta dari udara bersih yang seharusnya milik publik,” ujar Macintosh, dikutip dari Phys.org (17/10/2025).
Harga Karbon Masih Terlalu Murah
Saat ini, sekitar 27 persen emisi global telah berada di bawah mekanisme harga karbon. Namun hanya 3,2 persen di antaranya yang benar-benar dikenai biaya tinggi sesuai ambang ilmiah untuk menjaga suhu global di bawah 2°C.
Kondisi ini menimbulkan ilusi kemajuan. Banyak proyek penyeimbang emisi, seperti reforestasi atau konservasi hutan, tidak memiliki sistem verifikasi kuat. Akibatnya, kredit karbon beredar tanpa pengurangan emisi yang nyata di lapangan.
Baca jugfa: Pasar Karbon Indonesia Butuh Rp4.000 Triliun, SRN PPI Jadi Kunci
Skema seperti ini membuat banyak perusahaan “membeli waktu” alih-alih berinvestasi pada teknologi rendah karbon dan penghentian bahan bakar fosil. Di balik narasi hijau, pasar karbon justru berisiko menjadi mekanisme penundaan aksi iklim yang sesungguhnya.
Seruan untuk Reformasi Pasar Karbon
Para penulis laporan di Nature menyerukan langkah tegas, hapus secara bertahap skema kredit karbon dari sistem harga karbon nasional. Mereka menyarankan penetapan batas emisi yang makin ketat dan mekanisme pembayaran langsung ke pemerintah bagi perusahaan yang gagal memenuhi target.
Baca juga: Ekonomi Karbon Multiskema, Jalan Tengah Menuju Pembiayaan Iklim Rp4.500 Triliun
Langkah ini diharapkan memastikan manfaat ekonomi dari kebijakan iklim tetap berpihak pada publik, bukan mengalir ke pasar spekulatif yang menjual janji hijau tanpa dampak nyata.
Waktunya Lepas dari Ilusi Offset
Direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research (Jerman), Profesor Johan Rockstrom, memperingatkan bahwa konsep offset sudah tidak relevan ketika dunia hampir kehabisan “jatah karbon” untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C.
“Kita tak lagi punya waktu untuk menunda. Dunia harus segera menghentikan bahan bakar fosil sambil berinvestasi besar di alam, bukan memilih salah satunya,” ingatnya.
Baca juga: Standar Baru Pasar Karbon Global, Peluang bagi Proyek CDR Indonesia
Bagi Indonesia, yang tengah mengembangkan bursa karbon dan perdagangan Renewable Energy Certificate (REC)—temuan ini menjadi alarm serius. Kredibilitas sistem verifikasi dan transparansi proyek menjadi kunci agar pasar karbon tidak berubah menjadi “greenwashing nasional.”
Keberhasilan Indonesia dalam transisi energi akan sangat ditentukan oleh komitmen mengurangi emisi dari sumber utama, bukan dari sertifikat yang menenangkan nurani tetapi tak menurunkan karbon di atmosfer.

Catatan Redaksi
Transisi energi bukan tentang membeli izin untuk mencemari,
melainkan keberanian mengubah cara dunia memproduksi dan mengonsumsi energi.Di titik ini, kebijakan publik dan integritas sains menjadi penuntun utama, bukan ilusi pasar karbon yang menjual rasa bersih tanpa perubahan nyata. ***
- Foto: Ilustrasi – Mekanisme kredit karbon dinilai banyak pihak justru menghambat upaya nyata pengurangan emisi global, karena membuka ruang bagi praktik offset tanpa perubahan struktural pada sektor energi.


