Ekonomi Karbon untuk Semua, Hutan dan Masyarakat Harus Sama-sama Untung

PERDAGANGAN karbon di Indonesia memasuki fase penting. Di atas kertas, potensinya luar biasa. Hutan tropis, lahan gambut, dan keanekaragaman hayati Indonesia adalah modal besar untuk pasar karbon global. Namun, pertanyaan mendasar masih menggantung, sudahkah masyarakat di akar rumput merasakan manfaat nyata dari ekonomi karbon ini?

Kesadaran yang Belum Menjadi Nilai Ekonomi

Menurut Research Associate Climate Policy Centre CSIS, Via Widiyadi, masyarakat lokal belum sepenuhnya memahami bahwa aktivitas seperti menanam pohon dan menjaga hutan sebenarnya bernilai ekonomi.
“Dari segi awareness, mereka memang belum memahami secara utuh bagaimana benefit dengan menanam pohon dan sebagainya, karena itu seperti hal yang tidak kelihatan dan impact-nya pun tidak terasa,” ujarnya dalam WRI Indonesia National Dialogue (22/10).

Baca juga: Dana Karbon untuk Hutan, Harapan Baru dari Perpres 110/2025

Via menilai mekanisme insentif seperti REDD+ dan Tropical Forest Forever Facility (TFFF) yang akan diluncurkan di COP30 Brasilia sebenarnya membuka ruang manfaat langsung bagi masyarakat adat dan komunitas lokal. Asalkan mekanismenya dijalankan dengan benar. “Kalau mekanismenya tepat, benefit-nya langsung ke mereka,” tegasnya.

Harga Karbon dan Kredibilitas Pasar

Tantangan berikutnya adalah memastikan harga karbon cukup tinggi untuk menimbulkan motivasi ekonomi. Ekonom WRI Indonesia, Rizky Wibisono, menjelaskan bahwa insentif hanya akan efektif bila harga karbon mencerminkan kualitas offset yang kredibel.

Baca juga: Vietnam Monetisasi Kredit Karbon dari Hutan, Model Baru bagi Asia Tenggara?

“Kalau harga terlalu rendah, masyarakat tidak termotivasi. Harga berbanding lurus dengan kualitas dan kredibilitas karbon,” katanya.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Rizky mencontohkan Selandia Baru, di mana harga karbon sempat anjlok karena penggunaan unit berkualitas rendah. Ia menekankan pentingnya menjaga integritas proyek karbon agar tidak hanya kuat secara teknis, tetapi juga memberi dampak sosial-ekonomi yang nyata bagi masyarakat di sekitar lokasi proyek.

Dari Regulasi ke Rasa Percaya

Di sisi kebijakan, Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Multilateral, Mari Elka Pangestu, menyoroti pentingnya memastikan manfaat langsung bagi masyarakat dalam desain unit karbon sektoral maupun daerah.

“Dalam acuan pembuatan unit karbon, harus ada benefit bagi masyarakat setempat,” ujarnya di Indonesia Climate Change Forum 2025.

Baca juga: Ilusi Hijau di Pasar Karbon, Offset Justru Menghambat Aksi Iklim

Mari menyebutkan bahwa pendekatan bottom-up dalam Peraturan Presiden No. 110 Tahun 2025 menjadi kunci agar perdagangan karbon Indonesia tidak sekadar patuh regulasi, tetapi juga relevan secara ekonomi dan sosial. “Kalau manfaatnya jelas dan dirasakan masyarakat, kepercayaan pembeli luar negeri juga akan meningkat,” tambahnya.

Ekonomi karbon hanya akan berkelanjutan jika menghadirkan keadilan. Antara pelestarian dan penghidupan, antara global market dan local impact. Di titik ini, harga karbon yang kredibel, mekanisme insentif yang transparan, serta partisipasi masyarakat lokal menjadi tiga fondasi utama untuk menghindari jebakan “pasar hijau tanpa rasa”.

Jika berhasil, Indonesia bisa memimpin contoh baru bahwa menanam pohon bukan hanya aksi moral, tapi juga investasi sosial yang menghidupkan ekonomi lokal. ***

  • Foto:  Ahmad Syahrir/ Pexels Kendaraan melintasi kawasan hutan Parongpong, Jawa Barat. Jalan panjang menuju ekonomi karbon yang inklusif membutuhkan keseimbangan antara konservasi dan kesejahteraan masyarakat.
Bagikan