GELONDONGAN kayu yang terseret banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mengubah wajah bencana menjadi lebih gamblang. Air bah tidak hanya merendam rumah dan memutus akses, tetapi juga mengangkat tanda tanya besar, dari mana kayu-kayu itu berasal?
Pemerintah bergerak cepat setelah temuan visual dari lapangan dan drone menunjukkan batang-batang berdiameter besar yang hanyut di sungai. Bukan sekadar limbah, kayu itu dianggap sebagai petunjuk kerusakan pada sistem tata kelola hutan.
Fakta ini mengubah narasi. Banjir bukan sekadar bencana alam, tetapi peringatan keras tentang deforestasi dan tata ruang yang runtuh.
Dari Tanggap Darurat ke Investigasi Hulu
Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno, menyebut satuan tugas penertiban kawasan hutan sudah bekerja di lapangan. Mereka menelusuri dugaan asal usul kayu, memadukan investigasi lapangan dengan analisis citra satelit. Pemerintah tidak ingin penyebab ekologis tercecer dan hilang ketika air mulai surut.
“Kita telusuri pihak-pihak yang diduga melakukan pelanggaran, termasuk menggunakan citra satelit,” ujar Pratikno.
Pendekatan ini memberi sinyal kuat. Bencana sedang dilihat juga sebagai kasus hukum dan tata kelola, bukan semata urusan tanggap darurat.
Aparat Ikut Turun, Bukan Sekadar Kayu Terapung
Di sisi lain, Polri ikut masuk dalam pusaran investigasi. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan koordinasi sudah berlangsung dengan institusi kehutanan. Kemungkinan penindakan hukum, menurutnya, terbuka. Sebuah tim gabungan akan turun untuk mempelajari titik penemuan kayu dan aliran DAS terdampak.
Kementerian Lingkungan Hidup menjadi aktor lainnya. Menteri Hanif Faisol Nurofiq secara tegas menyebut delapan perusahaan di kawasan DAS Batang Toru akan dipanggil untuk diperiksa dokumennya. Kawasan ini sebelumnya dikenal sebagai zona sensitif ekologis dan penyimpan konflik tata guna lahan.

Bencana sebagai Ujian Tata Kelola Lingkungan
Hanif memberi tenggat, tiga bulan. Ia mengingatkan bahwa kasus lingkungan sering hilang dari memori publik ketika lumpur kering dan sorotan kamera bergeser.
Langkah pemeriksaan dokumen perusahaan dikombinasikan dengan rencana peninjauan langsung ke lokasi. “Insya Allah saya ke sana untuk melihat langsung, supaya paham konstruksi kasusnya,” katanya.
Sinyal serupa datang dari Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya. Ia menegaskan bencana ini tidak berdiri di ruang hampa. Kerusakan lingkungan menjadi faktor pembesar skalanya.
“Selain cuaca ekstrem, ada faktor kerusakan lingkungan yang memperparah bencana dan ini ditelusuri serius,” ujarnya.
Pernyataan Teddy mengukuhkan pergeseran pendekatan pemerintah. Penanganan bencana kini dilihat sebagai bagian dari evaluasi tata kelola ruang dan tata kelola sumber daya alam. Jika investigasi berjalan konsisten, bencana bisa menjadi pintu pembenahan kebijakan.

Kasus gelondongan kayu ini juga menguji koherensi institusional. Pemerintah pusat menggandeng polisi, kementerian sektor, dan satgas hutan. Publik menanti, apakah rantai hukum benar-benar disusuri sampai aktornya, atau justru berhenti di permukaan?
Bagi Sumatra, banjir kali ini memunculkan pertanyaan strategis. Seberapa siap kita menghubungkan antara deforestasi, investasi ekstraktif di hulu, dan bencana di hilir? Investigasi sedang berjalan, tetapi jawaban kebijakan dan penegakan hukum akan menentukan apakah bencana ini mengubah paradigma, atau sekadar headline sementara. ***
- Foto: Kiriman Warga – Hamparan gelondongan kayu memenuhi permukiman di salah satu wilayah terdampak banjir besar di Aceh, Sumatra, ujung November 2025. Temuan visual seperti ini menjadi petunjuk awal kerusakan hulu dan tata kelola kawasan yang rapuh.


