Mahkamah Internasional Tinjau Tanggung Jawab Negara Atasi Krisis Iklim

MAHKAMAH Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda, pada 2 Desember 2024, memulai sidang perdana untuk membahas kewajiban hukum negara-negara dalam menangani perubahan iklim. Sidang ini akan menggali konsekuensi hukum bagi negara-negara yang berkontribusi pada pemanasan global.

Ini menjadi tonggak penting bagi dunia, mengingat dampak iklim yang semakin nyata, terutama bagi negara-negara kecil dan rentan.

Sidang ini dipandang sebagai kesempatan untuk menuntut tanggung jawab negara-negara besar atas kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan. Salah satu yang paling terdampak adalah negara-negara kepulauan, seperti Vanuatu, yang kini tengah bergulat dengan badai yang semakin intens dan naiknya permukaan air laut.

“Kami berharap ICJ dapat membuka jalan bagi keadilan iklim,” ujar Menteri Perubahan Iklim Vanuatu, Ralph Regenvanu, sebagaimana dilansir berbagai media, akhir pekan lalu.

Sidang ini juga melibatkan 98 negara dan 12 organisasi internasional, termasuk negara penghasil emisi terbesar dunia, Amerika Serikat dan China. Persidangan ini mendapat perhatian besar karena berpotensi mengubah lanskap hukum iklim global.

Baca juga: COP29, Kekecewaan Negara Berkembang di Tengah Janji Pendanaan

Menurut Pengacara dari ClientEarth, Lea Main-Klingst, ketika COP29 gagal memberikan arahan yang jelas, pendapat hukum Mahkamah Internasional menjadi semakin penting.

Pertanyaan Kunci untuk ICJ

Sidang ini merujuk pada dua pertanyaan penting yang disampaikan Majelis Umum PBB kepada ICJ. Pertama, kewajiban apa yang dimiliki negara untuk melindungi sistem iklim Bumi dari emisi gas rumah kaca? Kedua, apa konsekuensi hukum bagi negara yang, dengan kelalaian dan tindakannya, menyebabkan kerusakan signifikan pada sistem iklim?

Pertanyaan kedua berfokus pada tanggung jawab negara besar, terutama dalam kaitannya dengan negara-negara kecil yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Negara-negara seperti Vanuatu dan Fiji merasa dampak perubahan iklim jauh lebih besar dibandingkan dengan negara-negara penghasil emisi besar.

Bagi negara-negara yang tidak memiliki kontribusi besar terhadap pemanasan global, namun sangat terancam bencana iklim, pertanyaan ini menjadi kunci dalam perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan.

Baca juga: Menggugat Dana Perusak Alam di COP29

Direktur PISFCC (Pasifik Islands Students Fighting Climate Change), Vishal Prasad mengatakan, “Perubahan iklim sedang mengubah hidup kami. Pulau-pulau kami terancam, komunitas kami menghadapi tantangan yang belum pernah dialami generasi sebelumnya.”

Mahkamah Internasional (ICJ) di Denhaag, Belanda, memulai sidang penting untuk menilai tanggung jawab negara dalam mengatasi perubahan iklim global. Foto: Wikipedia.

Dampak Hukum dan Politik

Sidang ini diharapkan akan memberikan opini hukum yang dapat digunakan untuk memajukan litigasi iklim di seluruh dunia. Meskipun opini ICJ bersifat tidak mengikat, dampaknya dapat mengarah pada preseden penting yang memandu pengambilan keputusan hukum terkait perubahan iklim.

Pengacara Senior di Amerika Serikat, Joie Chowdhury, menyebut bahwa opini ICJ akan menjadi “cetak biru hukum” bagi upaya litigasi iklim di tingkat domestik dan internasional.

Beberapa penghasil emisi karbon terbesar, termasuk China, Amerika Serikat, dan India, akan terlibat dalam sidang ini. Di sisi lain, negara-negara kepulauan Pasifik, yang tergabung dalam kelompok Melanesian Spearhead Group, turut memberikan pandangan tentang dampak langsung yang mereka rasakan akibat perubahan iklim.

Baca juga: COP29, Jalan Panjang Menuju Keadilan Iklim

Sidang ini juga dihadiri oleh organisasi global seperti Uni Eropa dan OPEC, yang diharapkan dapat memberikan perspektif tambahan mengenai solusi yang dibutuhkan.

Bagi negara-negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, sidang ini bukan hanya tentang perjuangan untuk melindungi lingkungan, tetapi juga tentang masa depan mereka. “Dengan pendapat hukum oleh ICJ, kita tidak hanya membicarakan apa yang hilang, tetapi juga apa yang bisa kita lindungi dan bangun bersama-sama,” tegas Prasad.

Baca juga: ADB Genjot Pinjaman Iklim Demi Masa Depan Asia

Penting untuk dicatat, meskipun pendapat hukum ICJ dapat memakan waktu untuk diselesaikan, proses ini membuka pintu bagi negara-negara yang terdampak untuk mengajukan tuntutan yang lebih tegas dan konkret. Bagi praktisi dan pemerhati isu keberlanjutan, ini adalah momen penting dalam perjalanan menuju keadilan iklim yang lebih inklusif dan adil bagi semua negara, baik besar maupun kecil. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *