Pajak Karbon Indonesia, Jalan Panjang Menuju Transformasi Ekonomi Hijau

HINGGA awal 2025, wacana penerapan pajak karbon di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Padahal, sebagai salah satu instrumen kunci dalam transformasi ekonomi hijau, pajak karbon seharusnya menjadi prioritas. Berdasarkan Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, penerimaan pajak karbon dirancang untuk mendanai proyek pengendalian iklim, membantu rumah tangga miskin yang terdampak, serta mendukung subsidi energi terbarukan.

Namun, perjalanan kebijakan ini tak semulus yang diharapkan. Dengan waktu yang semakin sempit menuju tenggat implementasi penuh pada 2025, berbagai hambatan teknis dan regulasi masih menjadi pengganjal.

Mengapa Pajak Karbon Penting?

Pajak karbon dirancang untuk memberikan insentif kepada pelaku usaha agar mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Dalam skema ini, entitas yang menghasilkan emisi di atas ambang batas (Batas Atas Emisi/BAE) akan dikenai pajak. Pemerintah telah menetapkan tarif minimum Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), yang selaras dengan harga karbon di pasar karbon domestik.

Selain itu, skema perdagangan karbon, atau cap and trade, melibatkan transaksi izin emisi antara pelaku usaha. Entitas dengan emisi rendah dapat menjual kelebihan izin emisinya kepada entitas dengan emisi tinggi. Jika pembelian izin tidak memungkinkan, maka sisa emisi akan dikenakan pajak karbon.

Baca juga: Indonesia, Pemain Kunci di Pasar Karbon Dunia

Mekanisme ini diharapkan mendorong valuasi pasar karbon di Indonesia, sehingga kebijakan pajak karbon dan perdagangan karbon harus berjalan beriringan. Namun, hingga kini, roadmap dan regulasi teknis belum tuntas disahkan.

Tantangan dalam Implementasi

Ketiadaan aturan teknis yang jelas menjadi hambatan utama. Pemerintah belum menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Peta Jalan Pajak Karbon, tarif sektoral, dan BAE untuk sektor industri. Hal ini membuat pelaku usaha kebingungan dalam menyusun strategi emisi mereka.

Baca juga: Dinamika Pajak Karbon Indonesia: Ambisi Besar, Langkah Tertahan

Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam pembukaan perdagangan Bursa Efek Indonesia 2025, menegaskan bahwa implementasi pajak karbon akan terus dikoordinasikan lintas kementerian. “Kami akan memperkuat koordinasi dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Perhubungan untuk mempercepat kebijakan ini,” ujarnya.

Sri Mulyani juga menyoroti pentingnya memperkuat pasar karbon domestik. Menurutnya, pasar karbon dapat menjadi alat kontrol emisi yang efektif, terutama jika didukung oleh kebijakan pajak karbon yang tegas.

Pasar karbon Indonesia menanti kepastian regulasi. Pajak karbon, instrumen penting untuk transformasi ekonomi hijau, masih menghadapi jalan terjal menuju implementasi penuh. Foto: Ilustrasi/ Pixabay/ Pexels.

Namun, menurut Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, pembahasan pajak karbon di Indonesia terkesan stagnan. “Valuasi karbon masih dihitung, sektor target belum jelas, dan kesepakatan multilateral juga belum rampung,” katanya.

Peluang dan Solusi

Pajak karbon memiliki potensi besar sebagai solusi alternatif untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa menaikkan tarif PPN. Selain itu, kebijakan ini dapat menjadi pendorong utama dalam upaya pengurangan emisi GRK.

Sebagai langkah strategis, pemerintah perlu segera merampungkan aturan teknis yang mendukung implementasi pajak karbon, termasuk:

  1. Penyelesaian Peta Jalan Pajak Karbon: Aturan ini akan menjadi panduan bagi sektor industri dalam menyesuaikan target emisi mereka.
  2. Penetapan BAE Sektoral: Setiap sektor perlu memiliki ambang batas emisi yang spesifik dan realistis.
  3. Kolaborasi Multisektor: Pemerintah harus melibatkan lebih banyak pihak, termasuk sektor swasta dan lembaga internasional, untuk mempercepat implementasi.

Baca juga: IDXCarbon: Indonesia Perdagangkan 906.000 Ton Karbon di 2024

Selain itu, edukasi publik mengenai manfaat pajak karbon juga penting. Dukungan masyarakat dapat menjadi dorongan tambahan bagi pemerintah untuk mempercepat kebijakan ini.

Belajar dari Denmark

Indonesia dapat mengambil pelajaran dari negara-negara yang telah sukses menerapkan pajak karbon. Denmark, misalnya, telah menetapkan pajak karbon pada sektor peternakan untuk mengurangi emisi metana. Langkah ini tak hanya mendukung keberlanjutan, tetapi juga membuka peluang inovasi di sektor energi terbarukan.

Sebagai negara dengan potensi pasar karbon yang besar, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pemain utama di tingkat global. Namun, tanpa regulasi yang jelas dan implementasi yang konsisten, potensi tersebut bisa menjadi sia-sia.

Baca juga: Bursa Karbon, Langkah Strategis Turunkan Emisi di Indonesia

Pajak karbon bukan sekadar kewajiban fiskal, melainkan investasi jangka panjang untuk keberlanjutan. Dengan penyelesaian regulasi teknis dan kolaborasi lintas sektor, Indonesia dapat memanfaatkan pajak karbon sebagai alat utama dalam transformasi ekonomi hijau.

Namun, waktu terus berjalan, dan keseriusan pemerintah dalam menindaklanjuti kebijakan ini akan menjadi ujian bagi komitmen Indonesia terhadap pengendalian perubahan iklim dan keberlanjutan. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *