PERDEBATAN sengit yang berlangsung di Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) selama dua pekan terakhir mencatat babak penting dalam perjuangan menghadapi krisis iklim global. Sidang ini menyoroti tanggung jawab negara-negara, terutama yang menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca, dalam memperbaiki kerusakan lingkungan. Hasil dari sidang ini diharapkan menjadi pedoman penting bagi dunia dalam menavigasi tantangan perubahan iklim.
Negara Kepulauan Kecil di Garda Terdepan
Inisiatif untuk membawa kasus ini ke ICJ berawal dari dorongan negara-negara kepulauan kecil yang menjadi korban utama dampak perubahan iklim. Negara-negara seperti Vanuatu, yang menghadapi kenaikan permukaan laut dan badai ekstrem, menyerukan agar negara-negara kaya bertanggung jawab.
Payam Akhavan, salah satu pengacara yang mewakili negara-negara ini, menegaskan bahwa Perjanjian Paris telah gagal memberikan solusi yang nyata.“Jika Perjanjian Paris memadai, tidak akan ada negara yang harus datang ke pengadilan untuk mencari keadilan,” ujar Akhavan.
Baca juga: Mahkamah Internasional Tinjau Tanggung Jawab Negara Atasi Krisis Iklim
Ia menekankan bahwa negara berkembang telah berupaya keras mengurangi emisi, tetapi mereka membutuhkan dukungan finansial dan teknologi dari negara-negara kaya untuk bertahan.
Pendapat Non-Mengikat, Dampak Besar
Keputusan ICJ, yang dijadwalkan akan diumumkan pada 2025, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Namun, para ahli menyebut pendapat ini dapat menciptakan preseden hukum yang signifikan.
Direktur Program Iklim dan Energi di Pusat Hukum Lingkungan Internasional, Nikki Reisch, mengatakan bahwa opini ICJ dapat memperkuat gugatan hukum terkait perubahan iklim di berbagai belahan dunia. “Pesan dari ICJ akan menjadi panduan moral dan politik yang kuat bagi pengadilan lain, khususnya di negara-negara yang masih berdebat soal tanggung jawab darurat iklim,” ungkap Reisch.
Baca juga: COP16 Riyadh, Krisis Kekeringan dan Jalan Buntu Negosiasi Global
Hampir 100 negara dan organisasi mendukung sidang ini. Mereka berharap keputusan ICJ dapat mendorong tata kelola iklim yang lebih adil.
Negara Kaya: Paris Adalah Kuncinya
Di sisi lain, perwakilan negara-negara kaya, termasuk Amerika Serikat, China, dan Arab Saudi, berpendapat bahwa Perjanjian Paris harus menjadi kerangka kerja utama. Mereka berargumen bahwa mekanisme yang ada, meskipun tidak mengikat, sudah cukup memberikan arahan.
“China percaya bahwa negosiasi perubahan iklim di bawah naungan PBB adalah saluran utama untuk tata kelola iklim global,” ujar Penasihat Hukum Kementerian Luar Negeri China, Ma Xinmin.
Baca juga: COP29, Kekecewaan Negara Berkembang di Tengah Janji Pendanaan
Namun, pendekatan ini dinilai belum cukup untuk menangani kerusakan besar yang telah terjadi. Negara-negara rentan menilai bahwa tanggung jawab moral dan material negara-negara penghasil emisi harus lebih jelas.

Pesan untuk Dunia
Sidang ini menggarisbawahi konflik mendasar dalam tata kelola iklim global: ketidakseimbangan antara pihak yang paling menderita akibat perubahan iklim dan pihak yang paling bertanggung jawab atas emisi.
Baca juga: Menggugat Dana Perusak Alam di COP29
Jika ICJ memberikan pendapat yang mendukung negara-negara kepulauan kecil, ini akan menjadi langkah besar dalam memperkuat argumen bahwa negara-negara penghasil polusi memiliki kewajiban hukum untuk membantu negara-negara rentan. Di sisi lain, jika keputusan mengacu pada Perjanjian Paris, upaya negara-negara kecil untuk mendapatkan keadilan iklim mungkin menghadapi jalan terjal.
Apa Selanjutnya?
Keputusan akhir ICJ akan menjadi ujian penting bagi komitmen dunia dalam menangani krisis iklim. Terlepas dari hasilnya, sidang ini telah membuka ruang diskusi global tentang keadilan iklim, mekanisme keuangan, dan peran hukum internasional dalam mendorong perubahan.
Baca juga: COP29, Jalan Panjang Menuju Keadilan Iklim
Sebagai negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia perlu memperhatikan hasil sidang ini. Dukungan terhadap mekanisme hukum internasional seperti ICJ dapat membantu memperjuangkan keadilan iklim yang lebih luas di masa depan. ***