DUA hari lalu, linimasa Instagram kembali geger. Akun @bule_sampah mengunggah video proses pembuatan tahu di sebuah desa dekat Surabaya, Jawa Timur. Tapi bukan tahunya yang membuat warganet terhenyak—melainkan asap hitam yang membubung dari tungku pembakaran. Sampah plastik dan karet menjadi bahan bakar utama.
“Shock banget. Kebayang berapa juta orang yang terpapar racun dari tahu ini,” ungkap sang pemilik akun dalam oncam di video pendeknya.
Unggahan itu langsung viral. Ribuan komentar membanjiri kolom, sebagian mengecam, sebagian lainnya mempertanyakan: benarkah ini terjadi di Indonesia, dan apa yang mendorong pelaku usaha mengambil risiko sebesar itu?
Sebuah Desa Bernama Tropodo
Tak sulit menelusuri jejak asap itu. Dusun Klagen, Desa Tropodo, Kabupaten Sidoarjo, hanya sekitar satu jam dari pusat Kota Surabaya. Di sana, lebih dari 40 industri tahu kecil dan menengah menggantungkan hidupnya dari tungku yang menyala saban pagi. Bahan bakarnya bukan lagi kayu, tapi sampah plastik.
“Kalau pakai kayu minimal Rp5.000, plastik cuma Rp3.000. Selisih dua ribu itu besar kalau dikalikan produksi harian,” kata salah satu pengusaha tahu setempat.
Baca juga: ‘Silent Killer’, Bahaya Plastik bagi Kesehatan Jantung
Sudah lebih dari satu dekade sang pengusaha menggunakan plastik sebagai bahan bakar. Tak ada yang aneh, katanya. Warga desa juga tak merasa terganggu.
“Orang sini sehat-sehat saja, biasa. Asapnya memang banyak, tapi nggak ada yang sesak,” ujarnya.

Di cerobong rumah produksi tahu miliknya, asap hitam memang tampak menari bebas. Bau menyengat tercium dari jarak puluhan meter. Ini bukan hal baru bagi warga Tropodo. Namun, bagi publik yang baru melihatnya dari video pendek, pemandangan itu mengundang kecemasan besar.
Dilema Energi dan Pilihan yang Tak Ada
Harga bahan bakar yang terus melambung membuat para pelaku usaha mikro seperti narasumber di atas kehilangan pilihan. Kayu mahal, gas tak terjangkau, listrik tak stabil. Di tengah desakan untuk tetap memproduksi, limbah plastik—termasuk yang berasal dari impor—menjadi “solusi cepat”.
Baca juga: Insentif Plastik, Antara Keuntungan Industri dan Kerugian Lingkungan
Sejak 2017, ketika Tiongkok menutup pintu impor sampah plastik, Indonesia menjadi tujuan baru. Volume sampah plastik domestik sendiri, menurutr data KLHK, pada 2022 sudah mencapai 5,4 juta ton, atau sekitar 14 persen dari total sampah nasional. Sebagian terserap oleh industri daur ulang. Sebagian lain, dibakar.
Asap Tak Kasat Mata, Racun di Udara
Pembakaran plastik bukan tanpa akibat. Menurut Dr. Anita Dewi Moelyaningrum, pengajar Kesehatan Lingkungan dari Universitas Jember, pembakaran plastik yang tidak sempurna menghasilkan zat beracun.
Baca juga: Studi Greenpeace-UI: Mikroplastik Mengancam Fungsi Otak
“Dioksin dan furan, dua senyawa toksik yang bisa menyerang sistem pernapasan, hormonal, bahkan menyebabkan kanker. Efeknya bisa jangka panjang dan tak langsung terasa,” katanya kepada wartawan. Sayangnya, sebagian besar industri rumahan seperti di Tropodo tidak menggunakan sistem pembakaran tertutup atau penyaring udara. Racun dilepaskan begitu saja ke atmosfer, lalu masuk ke tubuh melalui udara, air, dan makanan.
Di Antara Asap dan Harapan
Koordinator Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hermawan Some, mendesak pemerintah bertindak lebih tegas. “Stop pembakaran plastik. Kalau perlu fasilitasi tungku ramah lingkungan atau insentif untuk energi terbarukan. UMKM harus dibantu keluar dari jerat ini,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.
Ia menyebut, solusi seperti biogas atau listrik sebetulnya sudah pernah diwacanakan, tapi tak kunjung direalisasikan. Sementara pengusaha tahu merasa lelah menunggu janji yang tak ditepati.
Baca juga: Mikroplastik Pangkas Panen Asia, 400 Juta Orang Berisiko Kelaparan
“Dulu pernah ditawari tungku baru. Tapi, hanya sampai janji. Kalau memang ada bantuan nyata, ya siapa yang nggak mau lingkungan bersih?” ucapnya.
Krisis Energi UMKM yang Terlupakan
Kasus Tropodo hanyalah satu potret kecil dari masalah besar: krisis energi bersih di sektor usaha mikro. Di banyak titik lain di Indonesia, praktik serupa bisa jadi tengah berlangsung—tanpa sorotan kamera, tanpa perbincangan publik.
Saat asap plastik terus membumbung, pilihan hidup sehat dan bisnis berkelanjutan tetap belum bersua. Jalan keluarnya bukan sekadar melarang, tapi juga menyediakan: energi bersih, murah, dan layak untuk rakyat kecil. ***
- Foto: Ilustrasi/ Cottonbro/ Pexels.