ZAKAT bukan lagi sekadar instrumen sosial. Kini, zakat juga dapat menjadi motor penggerak keberlanjutan. PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menggagas konsep zakat hijau atau green zakat. Kerangka kerja ini dirancang untuk mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam ekosistem zakat nasional.
Transformasi Zakat Menuju Keberlanjutan
Konsep zakat hijau pertama kali diperkenalkan dalam World Zakat and Waqf Forum pada November 2024. Inisiatif ini kini ditindaklanjuti melalui diskusi strategis di Kantor BSI Jakarta, Selasa (18/3/2025). Fokus utamanya adalah menciptakan kerangka kerja zakat hijau yang mampu menyelaraskan pengelolaan zakat dengan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).
Rizaludin Kurniawan dari Baznas menekankan perlunya perubahan paradigma dalam pemanfaatan zakat. Menurutnya, zakat hijau harus lebih peduli terhadap lingkungan dan menjadi bagian dari solusi keberlanjutan. “Kerangka kerja ini akan memastikan bahwa ekosistem zakat dapat diintegrasikan dengan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola,” ujar Rizaludin.
Baca juga: Tren Investasi Hijau 2025, Adaptasi Iklim Jadi Prioritas
Langkah ini membuka peluang bagi zakat untuk mendukung berbagai inisiatif lingkungan. Dari konservasi sumber daya alam, pemberdayaan ekonomi hijau, hingga pendanaan proyek energi terbarukan, zakat dapat menjadi solusi inovatif bagi tantangan keberlanjutan global.
Zakat sebagai Pendanaan Hijau
BSI melihat zakat sebagai sumber pendanaan potensial untuk proyek sosial dan lingkungan. Wakil Direktur Utama BSI, Bob T Ananta, menegaskan komitmen perbankan syariah dalam mengoptimalkan dana zakat untuk mendukung agenda keberlanjutan. “Kami mengeksplorasi bagaimana zakat dapat berkontribusi pada perubahan iklim dengan tetap berlandaskan kepatuhan syariah,” kata Bob.

Sinergi antara keuangan syariah dan agenda ESG semakin relevan di tengah meningkatnya kebutuhan pendanaan hijau. Indonesia menghadapi kesenjangan pembiayaan sebesar 1,7 triliun dolar AS untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Selain itu, diperlukan tambahan 24 miliar dolar AS setiap tahun untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon. Keuangan syariah, termasuk zakat, dapat menjadi instrumen alternatif yang efektif untuk menutup kesenjangan ini.
Dampak Sosial dan Ekologis Zakat Hijau
Ketua Tim Pembiayaan Pembangunan UNDP Indonesia, Nila Murti, menekankan pentingnya mengintegrasikan zakat dengan prinsip keberlanjutan. “Zakat memiliki misi utama dalam pengentasan kemiskinan. Namun, dengan pendekatan ini, zakat juga dapat berkontribusi pada aksi iklim dan ketahanan sosial secara lebih luas,” jelasnya.
Baca juga: CIF Terbitkan Obligasi Iklim untuk Transisi Energi Bersih
Pendekatan ini memungkinkan zakat menjadi lebih dari sekadar bantuan sosial. Misalnya, dana zakat dapat digunakan untuk mendukung pertanian berkelanjutan, rehabilitasi lingkungan, atau pengelolaan sampah berbasis komunitas. Dengan demikian, manfaat zakat tidak hanya dirasakan oleh penerima langsung, tetapi juga oleh lingkungan secara keseluruhan.
Model untuk Keuangan Syariah Berkelanjutan
Kerangka kerja zakat hijau yang tengah dikembangkan akan diterapkan secara bertahap di tingkat nasional dan subnasional. Dengan regulasi dan tata kelola yang tepat, konsep ini dapat menjadi model bagi negara lain dalam mengoptimalkan zakat untuk keberlanjutan.
Baca juga: Bank Mandiri Kuasai ESG di Indonesia, Sejajar Standar Global
Indonesia memiliki potensi besar dalam keuangan syariah. Jika zakat hijau berhasil diimplementasikan secara luas, maka zakat bisa menjadi salah satu instrumen keuangan utama dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon. Langkah ini tidak hanya memperkuat ekosistem keuangan syariah tetapi juga mempercepat pencapaian SDGs di Indonesia.
Dengan semakin berkembangnya konsep keuangan berkelanjutan, zakat hijau membuka babak baru dalam filantropi Islam. Kini, saatnya memastikan bahwa zakat tidak hanya menyejahterakan masyarakat, tetapi juga menjaga bumi.
- Foto: Ilustrasi/ Ist – Green Zakat.