TIDAK kurang dari Rp76,3 triliun per tahun. Angka ini bukan sekadar angka. Setiap tahunnya, pemerintah Indonesia mengalokasikan dana sebesar Rp76,3 triliun dari APBN untuk menanggulangi dampak perubahan iklim. Ini bukan wacana, melainkan komitmen nyata. Dana tersebut masuk dalam skema Climate Budget Tagging—sebuah pendekatan yang memungkinkan identifikasi belanja negara yang berdampak pada iklim, baik untuk mitigasi maupun adaptasi.
Sejak 2016 hingga 2023, belanja iklim nasional telah mencapai Rp610 triliun. Namun, di tengah krisis yang semakin terasa, pertanyaannya bukan hanya berapa besar anggaran, melainkan sejauh mana dana itu bekerja dan mengakar di daerah.
Air, Irigasi, dan Ketahanan Pangan Fondasi Adaptasi Iklim
Menurut Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan, Boby Wahyu Hernawan, alokasi terbesar dari belanja iklim nasional justru mengalir ke sektor adaptasi, utamanya ketahanan air. Waduk, embung, irigasi pertanian, hingga konservasi sumber daya air menjadi garda depan perlindungan iklim di tingkat tapak.
Ini logis. Indonesia, dengan dominasi sektor agraris dan ketergantungan pada cuaca, perlu memperkuat fondasi dasarnya. Ketahanan air bukan sekadar urusan musim hujan. Ia adalah urusan pangan, energi, hingga stabilitas sosial.
Inovasi Digital Anggaran, Auto-Tagging di Daerah
Pemerintah kini memperkuat pendekatan ini dengan sistem baru bernama Regional Climate Budget Tagging (RCBT). Sistem ini menggunakan teknologi auto-tagging—mengidentifikasi otomatis anggaran-anggaran daerah yang berkaitan dengan aksi iklim berdasarkan kata kunci tertentu.
Inovasi ini memungkinkan pemerintah pusat melihat bagaimana daerah bertindak. Apakah mereka sudah menyesuaikan program dan kebijakan dengan tantangan iklim yang makin nyata? Apakah alokasi anggaran mereka mencerminkan kesadaran iklim?
Baca juga: AS Pangkas Bantuan, Krisis Pangan Mengancam 14 Negara
Provinsi Jambi adalah salah satu contoh baik. Mereka memanfaatkan skema Result-Based Payment (RBP) dari Bank Dunia melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Dana berbasis kinerja ini mendorong efektivitas dan akuntabilitas. Jambi bahkan mendanai sebagian aksi iklimnya dari anggaran daerah sebelum didukung pihak ketiga.
TAPE, TIP, dan Obligasi Hijau Opsi Baru Pendanaan Daerah
Selain sistem tagging, pemerintah juga mendorong skema pendanaan inovatif lainnya. Misalnya Transfer Anggaran Provinsi/Kabupaten Berbasis Ekologi (TAPE/TIP). Beberapa daerah mulai menerapkannya untuk mendanai konservasi, taman nasional, hingga program perlindungan lingkungan lainnya.

Skema lain yang sedang dikaji adalah obligasi daerah untuk isu lingkungan. Instrumen ini memungkinkan pemerintah daerah mengakses pinjaman dengan tujuan hijau, didukung regulasi nasional.
Pendekatannya jelas: beragam, berbasis hasil, dan didorong dari bawah.
Mencicil Masa Depan Lewat Rencana Adaptasi Nasional
Namun semua itu belum cukup tanpa kerangka besar yang jelas. Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Ekonomi Karbon KLHK, Ary Sudijanto, menegaskan pentingnya menyusun Rencana Adaptasi Nasional (NAP).
Di tingkat global, penyusunan NAP masih tertinggal. Hanya 51 negara yang telah menyerahkannya ke UNFCCC. Indonesia menargetkan bisa menyelesaikan dan menyerahkan dokumen NAP ke PBB sebelum Konferensi Perubahan Iklim COP ke-30 di Brasil, akhir 2025.
Baca juga: COP30 di Belem, Brasil, Menjadi Momen Kritis Aksi Iklim Global
NAP menjadi jembatan antara komitmen nasional dan aksi nyata daerah. Di dalamnya, terangkum dokumen dan peta jalan adaptasi, termasuk Pembangunan Berketahanan Iklim versi Bappenas serta kebijakan sektor kesehatan dan lingkungan hidup.
Krisis Iklim Tak Lagi Jauh, Aksi Lokal Menentukan
Dampak perubahan iklim tak lagi abstrak. Tahun 2024 mencatat suhu global 1,59°C di atas level pra-industri. Ini melampaui ambang aman 1,5°C dalam Perjanjian Paris.
Saat ini, yang dibutuhkan bukan hanya lebih banyak anggaran, melainkan aksi yang lebih tepat sasaran. Pendekatan desentralistik, dukungan lintas sektor, dan keterlibatan masyarakat lokal akan jadi kunci.
Baca juga: Transisi Energi Indonesia, Tantangan Komitmen atau Keterbatasan Anggaran?
Langkah besar memang dimulai dari pusat. Tapi jejaknya harus nyata di daerah. Karena ujung dari perubahan iklim, selalu bermuara di tapak: ladang yang kekeringan, anak-anak yang terpapar panas ekstrem, dan petani yang bertaruh pada musim. ***
- Foto: Cak Pan/ Pexels – Saluran irigasi di sawah terasering di Jawa Timur, salah satu bentuk infrastruktur adaptasi iklim yang mendukung ketahanan air dan pertanian berkelanjutan.