Hawaii Naikkan Pajak Wisata demi Lingkungan

Mulai 2026, Hawaii akan mengenakan pajak hijau yang ditujukan untuk melindungi pulau dari dampak krisis iklim. Apakah langkah ini akan jadi panutan global atau justru bumerang bagi sektor wisata?

HAWAII, surga tropis di tengah Samudra Pasifik, tengah menempuh jalur baru yang berani. Pemerintah negara bagian ini telah resmi mengesahkan kebijakan fiskal yang secara eksplisit ditujukan untuk menanggulangi krisis iklim. Namanya: biaya hijau.

Mulai 1 Januari 2026, setiap wisatawan yang menginap di Hawaii akan membayar tambahan pajak sebesar 0,75 persen. Sementara bagi kapal pesiar, tarif baru sebesar 11 persen akan diberlakukan berdasarkan durasi berlabuh. Pajak ini akan melengkapi pungutan sebelumnya seperti pajak penginapan lokal (3 persen) dan pajak barang dan jasa umum (4,71 persen).

Langkah ini disambut hangat oleh Gubernur Josh Green. “Ini adalah komitmen lintas generasi. Hawaii sedang menetapkan standar baru dalam menghadapi krisis iklim,” ucapnya.

Baca juga: 12 Geopark Indonesia Diakui UNESCO, Momen Emas Bangun Pariwisata Hijau

Pemerintah memperkirakan kebijakan ini akan menghasilkan pemasukan hampir 100 juta dolar AS per tahun. Dana ini akan digunakan untuk mendanai proyek-proyek lingkungan, seperti mengisi kembali pasir pantai Waikiki, memperkuat bangunan tahan badai, hingga membersihkan vegetasi invasif yang memicu kebakaran besar di Lahaina pada 2023.

Investasi Alam atau Beban Wisata?

Namun, kebijakan ini bukan tanpa kontroversi. Sejumlah pelaku industri pariwisata menyatakan kekhawatirannya. Direktur Eksekutif Maui Hotel and Lodging Association, John Pele, menyebut kenaikan pajak berpotensi membuat Hawaii “terlalu mahal” bagi wisatawan.

“Wisata bukan hanya soal alam, tapi juga soal biaya. Jika pengunjung merasa terbebani, mereka bisa beralih ke destinasi lain,” ujar Pele.

Baca juga: Siapa Berhak atas Pantai Labuan Bajo?

Wisatawan menikmati keindahan pantai di Hawaii, yang kini mengenakan pajak hijau untuk mendanai upaya pelestarian alam dan mitigasi krisis iklim. Foto: Jess Loiterton/ Pexels.

Namun Gubernur Green bersikukuh bahwa kontribusi ini tergolong kecil. Ia yakin banyak wisatawan akan memahami tujuan mulia di balik kebijakan ini. “Mereka datang ke sini untuk mencintai alam. Memberi sedikit untuk melindunginya bukan beban, tapi bentuk tanggung jawab,” tegasnya.

Kunci, Transparansi dan Dampak Nyata

Langkah Hawaii ini mengundang perhatian global. Bagi banyak negara yang juga mengandalkan sektor wisata namun menghadapi krisis lingkungan, kebijakan ini bisa menjadi preseden penting.

Namun, para ahli keberlanjutan menegaskan bahwa trust adalah kunci. “Tanpa transparansi dan pelaporan berkala tentang dampak penggunaan dana, kebijakan semacam ini bisa kehilangan legitimasi,” ujar seorang peneliti kebijakan lingkungan dari Universitas Hawaii.

Baca juga: 2 Desa Wisata Indonesia Terbaik Dunia 2024

Pandangan ini diamini oleh Zane Edleman, turis asal Chicago. Ia menilai bahwa hasil nyata akan menjadi pembeda. “Kalau saya tahu uang saya digunakan untuk menyelamatkan pantai atau mencegah kebakaran, saya akan rela membayar lebih,” katanya seperti dikutip The Guardian.

Pelajaran untuk Indonesia?

Langkah Hawaii membuka diskusi penting bagi Indonesia, negara kepulauan yang juga rentan terhadap perubahan iklim dan sangat bergantung pada pariwisata. Konsep green tourism tax bisa menjadi alternatif pendanaan berkelanjutan untuk pelestarian alam.

Namun, tantangannya tetap sama: komunikasi, kepercayaan, dan pengelolaan yang transparan. Tanpa itu, niat baik pun bisa jadi kontroversi. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *