TAMBANG batu bara di Indonesia diam-diam menyimpan bom iklim. Bukan hanya karena karbon, tetapi karena gas metana—si pemanas super yang kerap luput dari pantauan.
Laporan Global Methane Tracker 2024 dari International Energy Agency (IEA) menempatkan Indonesia di posisi ketiga dunia sebagai penyumbang emisi metana terbesar dari sektor pertambangan batu bara. Tahun ini saja, emisi yang dilepaskan mencapai 2,4 juta ton metana.
Sebanding dengan Emisi Transportasi Nasional
Apa artinya angka itu? Jika dikonversi berdasarkan potensi pemanasan global metana dalam kurun 20 tahun, dampaknya setara dengan 198 juta ton emisi karbon dioksida (CO₂). Angka itu bahkan melebihi 26 persen dari total emisi sektor transportasi Indonesia pada 2019.
Yang lebih mengkhawatirkan: angka itu lebih dari 20 kali lipat dari data resmi yang disampaikan pemerintah ke UNFCCC, yang hanya mencatat sekitar 0,1 juta ton metana pada 2019.
“Ini menunjukkan adanya jurang besar antara kenyataan di lapangan dan laporan resmi,” kata Dody Setiawan, analis senior iklim dan energi di Ember, lembaga analisis energi independen.
Masalah Lama, Metode Usang
Ketimpangan data ini menurut Ember disebabkan oleh penggunaan metode estimasi yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi lapangan. Tanpa pengukuran langsung, perhitungan emisi masih mengandalkan default emission factors yang general dan tidak mencerminkan kondisi spesifik tiap tambang.
Baca juga: Batu Bara Masih Jadi Andalan, ke Mana Arah Transisi Energi Indonesia?
Padahal, intensitas metana dari tambang batu bara Indonesia dilaporkan 12,5 kali lebih tinggi dibandingkan angka dalam pedoman resmi pemerintah. “Ini bukan sekadar soal angka. Ini soal akuntabilitas dan efektivitas kebijakan iklim,” tegas Dody.
Langkah Minim Biaya, Dampak Maksimal
IEA menegaskan, pengurangan emisi metana dari tambang batu bara sebenarnya tidak membutuhkan terobosan teknologi canggih. Setengah dari emisi bisa ditekan melalui metode yang praktis dan hemat biaya—seperti sistem penangkapan metana dan ventilasi yang lebih efisien.

Kuncinya: pemantauan langsung di lapangan dan pengembangan faktor emisi yang lebih akurat, sesuai kondisi geologis dan operasional tiap wilayah.
Saatnya Reformasi Inventarisasi Emisi
Sebagai negara yang ikut menandatangani Global Methane Pledge, Indonesia memiliki komitmen untuk menurunkan emisi metana secara signifikan. Namun tanpa reformasi dalam sistem pelaporan dan pemantauan, komitmen itu akan sulit diwujudkan.
“Pengukuran langsung dan transparansi adalah syarat dasar menuju tata kelola emisi yang bertanggung jawab,” lanjut Dody.
Baca juga: Dilema Batu Bara Indonesia, Dominasi Global atau Pembatasan Ekspor?
Pelajaran dari Tiongkok dan Rusia
Indonesia tidak sendiri. Dua negara teratas penghasil emisi metana—Tiongkok dan Rusia—juga menghadapi dilema serupa: ambisi energi bersih tapi tetap mengandalkan batu bara. Tiongkok, misalnya, dikenal masif dalam pengembangan energi terbarukan, namun di saat bersamaan masih memperluas kapasitas pembangkit batu baranya.
Baca juga: Permintaan Batu Bara Melonjak di Tengah Ambisi Transisi Energi
Dari sini kita belajar: transisi energi tidak hanya soal membangun pembangkit surya, tapi juga menutup kebocoran tersembunyi di sektor-sektor yang selama ini luput dari sorotan.
Indonesia perlu segera memperbarui metode penghitungan emisi, mengukur secara langsung, dan menetapkan kebijakan berbasis data yang kredibel. Tanpa itu, target iklim hanya akan menjadi jargon. Dan metana, tetap akan mengendap sebagai ancaman tak kasatmata di udara yang kita hirup. ***
- Foto: Ilustrasi/ Deyler Rivera Segura/ Pexels.


