Investasi Hijau Asia Tenggara Melesat, tapi Jalan Menuju 2030 Masih Terjal

ASIA Tenggara mencatat pertumbuhan investasi hijau yang signifikan pada 2024. Nilainya melonjak lebih dari 40 persen dibanding tahun sebelumnya. Sebuah sinyal positif, tapi bukan akhir dari cerita.

Laporan Southeast Asia’s Green Economy 2025, hasil kolaborasi antara Bain & Company, Temasek, Google, GenZero, dan Standard Chartered, menyoroti lonjakan tersebut, terutama pada sektor pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Lebih dari 30 persen dana hijau mengalir ke proyek energi matahari. Termasuk di dalamnya adalah fasilitas penyimpanan energi dan pabrik produksi sel serta panel surya.

Namun, di balik lonjakan angka, ada tantangan mendalam. Asia Tenggara, menurut laporan ini, masih jauh dari jalur ideal untuk mencapai target iklim 2030. Emisi belum juga mencapai puncaknya. Risiko iklim tetap tinggi.

Ketergantungan pada Investor Asing dan Solusi Parsial

Singapura dan Malaysia menjadi episentrum investasi hijau di kawasan ini. Keduanya menyerap lebih dari 62 persen dari total investasi hijau Asia Tenggara. Menariknya, sekitar 69 persen dari total investasi tersebut berasal dari investor asing. Singapura juga tercatat sebagai pemain paling aktif, terlibat dalam hampir 40 persen transaksi.

Baca juga: Tren Investasi Hijau 2025, Adaptasi Iklim Jadi Prioritas

Kondisi ini menunjukkan peran besar modal luar dalam mendorong transisi energi kawasan. Tapi, menurut para ahli, langkah ini belum cukup. Yang dibutuhkan adalah transformasi sistemik, bukan hanya proyek individu.

Franziska Zimmermann dari Temasek menyatakan bahwa lima tahun ke depan menjadi periode krusial. “Kita perlu bergerak cepat dengan solusi pragmatis dan dampak jangka pendek,” ujarnya.

Tiga Solusi Sistemik dan Tantangan Baru

Laporan tersebut menyoroti tiga strategi transformasional untuk mendorong dekarbonisasi:

  1. Bioekonomi berkelanjutan – mencakup praktik pertanian ramah lingkungan dan pengelolaan limbah yang efisien.
  2. Peningkatan infrastruktur energi terbarukan – termasuk modernisasi jaringan listrik untuk mendukung integrasi PLTS.
  3. Pengembangan ekosistem kendaraan listrik (EV) – agar transisi transportasi berjalan paralel dengan elektrifikasi energi.

Baca juga: Danantara dan Masa Depan Investasi Hijau Indonesia

Jika ketiga strategi ini diterapkan secara optimal, kawasan ini bisa menambah US$ 120 miliar ke PDB dan menciptakan 900.000 lapangan kerja baru. Bahkan, celah emisi kawasan dapat ditekan hingga 50 persen pada 2030.

Negara-negara ASEAN di peta Asia Tenggara. Investasi energi bersih meningkat, tapi kesenjangan menuju target iklim 2030 masih lebar. Foto: asiaeducation.edu.au

Namun, jalan menuju sana penuh tantangan. Salah satunya datang dari sektor teknologi. Kebutuhan energi untuk kecerdasan buatan (AI) dan pusat data meningkat tajam. Jika tidak segera beralih ke energi terbarukan, maka emisi justru akan melonjak.

Membangun Ketahanan, Bukan Sekadar Mengejar Target

Solusi seperti Virtual Power Purchase Agreement (VPPA) kini jadi primadona. Skema ini memungkinkan perusahaan mendanai energi hijau lewat sertifikat tanpa harus langsung mengakses listriknya. Negara seperti Singapura dan Malaysia mendorong penggunaan VPPA sebagai jalan keluar bagi keterbatasan energi hijau lokal.

Baca juga: Portofolio Hijau Jadi Primadona Investor Muda dan Kaya

Dale Hardcastle dari Bain & Company menyebut bahwa kendati kondisi makro saat ini menantang, Asia Tenggara tetap punya peluang. “Fokus pada solusi berdampak tinggi bisa mengubah tantangan menjadi kekuatan baru,” ujarnya.

Kawasan ini kini di persimpangan. Antara investasi yang menjanjikan dan realitas lingkungan yang mendesak. Jalan keluar bukan hanya soal lebih banyak uang, tapi arah baru—menuju ekonomi hijau yang tangguh, adil, dan berkelanjutan. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *