Geopark Toba Terancam Dicoret UNESCO, Citra Pariwisata Indonesia Dipertaruhkan

KALDERA Toba, salah satu permata geowisata Indonesia, sedang berpacu dengan waktu. UNESCO akan mengirim tim asesor pada 15 Juli mendatang untuk menentukan nasib status Global Geopark kawasan yang mencakup tujuh kabupaten di Sumatera Utara ini.

Apa yang Salah di Toba?

Status UNESCO Global Geopark (UGGp) bukan sekadar gelar prestisius. Ia mencerminkan keberhasilan sebuah kawasan mengelola kekayaan geologi, budaya, dan ekosistem secara terpadu, berkelanjutan, serta melibatkan masyarakat lokal. Namun sejak 2023, Kaldera Toba menerima “kartu kuning” dari UNESCO—peringatan keras yang menandai lemahnya tata kelola kawasan ini.

Menurut Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf, Hariyanto, ada sejumlah celah dalam pengelolaan. Kurangnya koordinasi lintas pemangku kepentingan, minimnya partisipasi warga lokal, dan fasilitas geosite yang tak terawat membuat kawasan ini dinilai tak memenuhi standar internasional.

Menjaga Warisan, Menata Kebijakan

“Kita bicara soal kredibilitas Indonesia di mata dunia. Kalau status ini dicabut, dampaknya bisa meluas, mulai dari citra pariwisata, konservasi, hingga investasi hijau,” kata Dewan Pakar Gerakan Solidaritas Nasional bidang Pariwisata, Taufan Rahmadi.

Baca juga: 12 Geopark Indonesia Diakui UNESCO, Momen Emas Bangun Pariwisata Hijau

Taufan juga mengingatkan bahwa status UGG memberikan kerangka kerja penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Tanpa standar UNESCO, ancaman terhadap situs geologi, aktivitas tambang ilegal, dan pembangunan yang tak terkendali bisa meningkat.

Momen Evaluasi Menuju Reputasi Global

Kaldera Toba memang bukan satu-satunya yang mendapat kartu kuning. Pada 2023, kawasan lain seperti Gua Zhijindong (Tiongkok) dan Madonie (Italia) juga menerima peringatan serupa. Tapi dibanding mereka, Kaldera Toba punya peluang besar untuk bertahan—jika pembenahan dilakukan secara kolaboratif dan menyeluruh.

Baca juga: Krisis Iklim, 3 Situs Warisan Dunia di Indonesia di Ujung Tanduk

Lanskap Danau Toba yang memesona, bagian dari Kaldera Toba yang terancam kehilangan status UNESCO Global Geopark akibat lemahnya pengelolaan. Foto: Kemenparekraf.go.id.

Pemerintah pusat telah mengalokasikan Rp 56,6 miliar dalam Dana Alokasi Khusus (DAK) 2024 untuk memperkuat infrastruktur dan manajemen kawasan. Namun dana saja tidak cukup. Perlu langkah strategis seperti revitalisasi badan pengelola, pelatihan manajemen geopark, dan penguatan program edukasi berbasis riset.

Taufan menyarankan agar pengelola belajar dari kawasan geopark lain, baik di dalam maupun luar negeri. Studi banding bisa membuka cakrawala baru tentang bagaimana mengelola taman bumi secara inklusif dan berkelanjutan. Ia juga menyoroti pentingnya visibilitas. “Pasang papan informasi, peta digital, dan maksimalkan kampanye digital. Ceritakan sejarah dan nilai kawasan ini dengan cara yang menarik dan transparan,” ujarnya.

Baca juga: 5 Destinasi Andalan Pariwisata Indonesia

Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci. Rencana aksi harus dipublikasikan secara berkala lewat situs resmi dan media sosial. Pemantauan independen oleh pakar dan akademisi juga penting untuk memastikan implementasi berjalan sesuai rekomendasi UNESCO.

Waktu semakin sempit. Tetapi jika momentum ini digunakan untuk membenahi akar masalah—bukan sekadar tambal sulam—Kaldera Toba bukan hanya akan lolos revalidasi, tetapi juga jadi contoh keberhasilan pariwisata berkelanjutan Indonesia.

  • Foto: Dok. Kemenparekraf – Danau Toba, Sumatra Utara.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *