PULAU Sulawesi, Sumbawa, dan Timor menyimpan potensi besar untuk menjadi pelopor transisi energi bersih di Indonesia. Bukan sekadar mimpi, studi terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa ketiga pulau ini secara teknis bisa memenuhi 100 persen kebutuhan listrik mereka dari energi terbarukan.
Temuan ini tidak datang secara kebetulan. Indonesia sebagai negara kepulauan tropis memiliki kondisi geografis dan iklim yang sangat mendukung pengembangan energi surya, angin, hidro, hingga biomassa. Peluang ini, jika dimanfaatkan optimal, bisa menjadi jalan keluar dari ketergantungan pada bahan bakar fosil, terutama di kawasan timur yang selama ini menghadapi tantangan akses dan biaya energi yang tinggi.
Sulawesi: Menatap Langit, Menangkap Energi
Pulau Sulawesi memiliki potensi proyek energi terbarukan hingga 63 gigawatt (GW), mayoritas dari tenaga surya dan angin. Menurut analisis IESR, porsi energi terbarukan variabel seperti surya dan angin akan melonjak dari 2,4 persen pada 2024 menjadi 29 persen pada 2060. Dalam jangka pendek, sistem kelistrikan di Sulawesi masih akan mengandalkan fleksibilitas dari hidro dan energi baru lainnya, namun lambat laun, baterai dan interkoneksi antar pulau akan mengambil peran utama.
Baca juga: Krisis Listrik Spanyol, Peringatan Keras untuk Ketahanan Energi Indonesia
“Analisis fleksibilitas harus jadi bagian penting dalam perencanaan energi jangka panjang. Dengan itu, biaya sistem bisa ditekan, ketahanan energi pun meningkat,” ujar Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR, Abraham Halim.
Sumbawa dan Timor: Ambisi Lokal, Aksi Global
Di Nusa Tenggara, dua pulau menunjukkan langkah konkret. Pemerintah daerah di Sumbawa (NTB) menargetkan Net Zero Emission pada 2050, sementara di Timor (NTT) menargetkan 47 persen bauran energi terbarukan pada 2034. Ini bukan sekadar target. Data IESR mengungkapkan bahwa potensi energi terbarukan di Sumbawa mencapai 10,21 GW, sedangkan Timor bahkan lebih besar, 30,81 GW, dengan dominasi tenaga surya.

Analis IESR, Alvin P. Sisdwinugraha, menyebut strategi dua tahap diperlukan. Jangka pendek (2025–2035) dimulai dengan menghentikan rencana pembangunan pembangkit fosil. Jangka panjang (2036–2050) berfokus pada pensiun dini pembangkit yang ada dan menggantinya dengan PLTS skala besar dan sistem penyimpanan.
Baca juga: Saat Dunia Bisnis Desak Percepatan Transisi Energi di Indonesia
Di Timor, sistem kelistrikan pada 2050 diproyeksikan akan didominasi tenaga surya (82 persen), disusul mini hidro (9 persen), angin (6 persen), dan biomassa (3 persen). Proyeksi ini memberi gambaran bahwa transisi bukan hanya mungkin, tapi juga masuk akal secara ekonomi.
Pulau sebagai Solusi, Bukan Kendala
Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, strategi berbasis pulau adalah pendekatan tepat bagi Indonesia. Biaya pembangunan jaringan transmisi bawah laut bisa mencapai tiga hingga lima kali lipat dari kabel darat. Maka, sistem energi mandiri di tiap pulau tak hanya logis secara teknis, tetapi juga ekonomis.
Baca juga: Indonesia Incar Posisi Terdepan dalam Energi Panas Bumi Global
Selain itu, pasokan energi terbarukan lokal bisa memotong risiko logistik dan krisis pasokan akibat keterlambatan pengiriman BBM. “Kemandirian energi di pulau-pulau bisa menjadi model global untuk negara kepulauan,” tegas Fabby.
IESR menekankan bahwa Indonesia bisa mencapai target Net Zero Emission lebih cepat jika strategi ini dikawal serius. Potensinya sudah ada. Kini tinggal keberanian dan komitmen politik untuk mengeksekusinya. ***
- Foto: Ilustrasi/ Jess Loiterton/ Pexels.