DI TENGAH perdebatan global soal pendanaan iklim dan masa depan energi fosil, panggung COP30 di Belém menghadirkan satu momen yang menyentuh dimensi paling dasar dari pembangunan berkelanjutan, kemanusiaan. Saat jutaan pasang mata tertuju pada negosiasi teknis, seorang pramuantar asal Nusa Tenggara Barat, Agam Rinjani, menerima Medali Kofi Annan, penghargaan internasional yang jarang singgah di Asia Tenggara.
Upacara berlangsung sederhana di Paviliun Indonesia. Namun maknanya melampaui seremoni. Di ruang penuh diplomasi itu, Brasil, melalui Global ESG Institute, memberikan pengakuan bahwa keberlanjutan bukan sekadar soal karbon, teknologi, atau pendanaan. Tapi juga tentang keberanian, empati, dan kesediaan seseorang mempertaruhkan nyawanya demi orang lain.
Simbol Etika Kemanusiaan di Era Krisis Iklim
Director of International Relationship Global ESG Institute Brazil, Paola Comin, menegaskan alasan Agam layak menerima penghargaan tersebut. Dunia semakin individualistis, dan tindakan Agam adalah pengingat bahwa nilai solidaritas belum padam.
Baca juga: COP30: Waktu Menjadi Musuh Terbesar Aksi Iklim
Pernyataan itu menggambarkan tantangan baru dalam agenda keberlanjutan. Ketika adaptasi iklim dan risiko bencana meningkat, kapasitas penyelamatan berbasis komunitas, local first responders, menjadi garis pertahanan pertama. Aksi heroik Agam menunjukkan bahwa kemampuan teknis dan komitmen kemanusiaan sering kali melebur menjadi satu.
Kofi Annan Medal, Mengapa Penting dalam Diskursus ESG?
Penghargaan ini membawa nama salah satu pemimpin moral paling dihormati dunia. Kofi Annan, mantan Sekjen PBB dan peraih Nobel Perdamaian, adalah simbol kepemimpinan yang menempatkan manusia sebagai inti kebijakan global. Medali ini diberikan kepada individu yang menunjukkan dedikasi terhadap:
- kemanusiaan,
- perdamaian dan keadilan sosial,
- perlindungan kelompok rentan,
- keberlanjutan jangka panjang.
Ketika penghargaan ini jatuh ke tangan seorang pemandu pendakian dari Lombok, pesan yang tersampaikan jelas bahwa keberlanjutan tidak membutuhkan jabatan tinggi, tetapi konsistensi tindakan.

Aksi Heroik yang Mengubah Narasi
Agam bukan nama baru di kalangan pendaki Rinjani. Ia tercatat terlibat dalam sekitar 70% operasi evakuasi di gunung tersebut. Keahliannya di vertical rescue membuatnya menjadi sosok kunci dalam berbagai insiden pendakian.
Namun aksinya pada Juni 2025 mengubah segalanya. Ketika Juliana Marins, pendaki Brasil, terjatuh ke jurang lebih dari 600 meter, Agam berada di garis depan pencarian. Ia mendirikan tenda di tebing curam, bermalam di lokasi, dan memimpin proses mengangkat jenazah korban. Keberanian dan ketekunannya menyita perhatian publik Brasil, dan akhirnya dunia.
Baca juga: Aliansi NAP, Instrumen Baru untuk Menutup Kesenjangan Pendanaan Adaptasi Global
Aksi Agam menegaskan bahwa penyelamatan di gunung bukan hanya fungsi teknis, tetapi juga komitmen moral. Inilah nilai yang dipandang Global ESG Institute sebagai fondasi etika keberlanjutan.
Jejak Lokal yang Menggema Global
Dalam sambutannya, Agam menyebut penghargaan itu sebagai kehormatan sekaligus tanggung jawab. Respons ini mencerminkan kesadaran bahwa figur lokal kini memegang peran penting dalam arsitektur keberlanjutan global. Mereka adalah penjaga ekosistem, penggerak komunitas, dan ujung tombak respon darurat.
Di era ketika ketahanan iklim menjadi prioritas dunia, sosok seperti Agam membawa perspektif baru, bahwa compass moral sama pentingnya dengan standar teknis.
Baca juga: Coopera+ Amazonia, Mesin Baru Bioekonomi Hutan yang Mulai Bergerak
COP30 mungkin akan terus diingat sebagai babak krusial negosiasi iklim. Namun kisah Agam memberi catatan tambahan, bahwa transisi menuju dunia berkelanjutan membutuhkan keberanian personal yang sering tumbuh dari tempat-tempat paling sunyi. ***
Foto: @ontesilverius – Agam Rinjani menerima Medali Kofi Annan dari Global ESG Institute pada perhelatan COP30 di Paviliun Indonesia, BelĂ©m, Brasil. Penghargaan ini diberikan atas aksi kemanusiaannya mengevakuasi pendaki asal Brasil di Gunung Rinjani.


