DI SITUBONDO, Jawa Timur, seorang pria lanjut usia bernama Masir harus menghadapi tuntutan dua tahun penjara karena memikat burung di kawasan Taman Nasional Baluran. Usianya 75 tahun. Keterlibatannya bukan bagian dari jaringan perdagangan satwa liar, bukan pula pembalakan skala besar. Ia hanya warga desa penyangga yang hidup berdampingan dengan hutan sejak kecil.
Kasus ini menjadi simbol yang lebih besar. Bagaimana hukum konservasi ditegakkan, kepada siapa, dan seberapa proporsional penindakan dilakukan ketika masyarakat kecil berhadapan dengan regulasi yang semakin ketat.
Penegakan Hukum Konservasi yang Tidak Proporsional
Jaksa Penuntut Umum menuntut Masir berdasarkan Undang-Undang 32/2024 tentang Perubahan UU Konservasi. Regulasi baru ini memperberat sanksi pelanggaran di kawasan lindung. Langkah tersebut penting dalam menghadapi tekanan besar terhadap keanekaragaman hayati Indonesia. Namun penegakan yang keras, tanpa mempertimbangkan konteks sosial, berpotensi memperluas ketimpangan.
Baluran adalah lanskap savana penting dengan nilai ekologis tinggi. Kamera warga beberapa waktu lalu menangkap citra macan tutul yang turun dari hutan. Momen itu viral dan menunjukkan ekosistem masih stabil. Namun stabilitas itu tidak terlepas dari interaksi kompleks antara konservasi dan masyarakat lokal.
Baca juga: Sawit Ilegal di Kawasan Konservasi, Korporasi Berlindung di Balik Nama Rakyat
Di desa penyangga, praktik memikat burung adalah tradisi yang berjalan sejak lama. Ketika hukum diperbarui tanpa edukasi memadai, benturan seperti kasus Masir menjadi tak terhindarkan.
Restorative justice tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. Pengadilan menilai mekanisme itu tidak berlaku untuk perkara konservasi. Pertanyaannya, apakah semua pelanggaran konservasi layak ditangani dengan kurungan, terlepas dari skala dan dampaknya?

Kesenjangan Kebijakan dan Realitas Sosial-Ekologi Warga Penyangga
Konservasi tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan lindung. Banyak warga desa seperti Masir memiliki ketergantungan turun-temurun pada hutan. Reformasi kebijakan konservasi tidak selalu dibarengi reformasi kesejahteraan lokal. Akibatnya, pelanggaran kecil sering berubah menjadi kriminalisasi.
Negara lain mulai mengadopsi pendekatan community-based conservation yang menempatkan warga sebagai penjaga ekosistem. Di Indonesia, perhutanan sosial memberikan ruang serupa, tetapi implementasinya belum menjangkau taman nasional secara signifikan. Ketiadaan livelihood alternatif mempersempit pilihan warga dan memperbesar peluang pelanggaran.
Baca juga: Perhutanan Sosial, Kunci Swasembada Pangan dan Energi
Indonesia membutuhkan jembatan antara kepentingan ekologis dan kebutuhan ekonomi warga kecil. Tanpa itu, konservasi berpotensi memproduksi ketidakadilan baru di lapangan.
Membaca Ulang Arah Kebijakan Konservasi Indonesia
Kasus Masir menyodorkan pertanyaan penting bagi para pengambil kebijakan. Pertama, apakah revisi UU Konservasi perlu diikuti peta jalan transisi sosial, termasuk edukasi dan penyiapan mata pencaharian alternatif? Kedua, apakah aparat penegak hukum membutuhkan pedoman diferensiasi dampak, sehingga warga kecil tidak terkena penalti berlebihan? Ketiga, bagaimana memastikan konservasi menjadi agenda kolaboratif lintas kementerian, pemerintah daerah, dan komunitas lokal?
Baca juga: Jalan Melingkar Konservasi Alam Indonesia
Jika tujuan konservasi adalah menjaga keberlanjutan jangka panjang, maka pembangunan kapasitas masyarakat penyangga adalah bagian dari strategi ekologis, bukan tambahan. Negara perlu melihat bahwa perlindungan alam tidak bisa berjalan tanpa perlindungan kehidupan di sekitarnya.
Kisah Masir mungkin sederhana, tetapi membuka ruang diskusi besar bahwa keberlanjutan menuntut keseimbangan antara mandat hukum dan realitas manusia. ***
- Foto: Dok. Taman Nasional Baluran – Hamparan savana Baluran, simbol penting konservasi Indonesia. Namun di balik keindahan ini, terdapat dinamika kompleks antara perlindungan alam dan realitas sosial-ekonomi warga sekitarnya.


