Negara Ponsel, Potret Digitalisasi Indonesia dan Tantangan Keberlanjutan

INDONESIA resmi jadi “Negara Ponsel”. Laporan Digital 2025 Global Overview mencatat 98,7% masyarakat Indonesia berusia 16 tahun ke atas mengakses internet lewat ponsel. Angka ini tertinggi di dunia, melampaui Filipina dan Afrika Selatan.

Fenomena ini menegaskan ponsel bukan sekadar alat komunikasi, melainkan pintu utama ke dunia digital. Namun, di balik prestasi itu, muncul pertanyaan besar sejauh mana digitalisasi lewat ponsel mendukung pembangunan berkelanjutan?

Akses internet yang masif lewat ponsel membuka ruang luas bagi pertumbuhan ekonomi digital. UMKM dapat lebih mudah menjangkau pasar, layanan publik bisa lebih cepat, sementara inklusi keuangan makin terbuka melalui aplikasi perbankan digital dan fintech.

Baca juga: Menteri Virtual Albania dan Masa Depan ESG Governance di Sektor Publik

Dengan rata-rata 7 jam 22 menit waktu online per hari, masyarakat Indonesia termasuk paling aktif di dunia maya. Jika diarahkan pada produktivitas, angka ini bisa menjadi motor penggerak ekonomi berbasis inovasi.

Indonesia resmi jadi Negara Ponsel. Data terbaru menunjukkan 98,7% penduduk usia 16+ online lewat smartphone setiap hari. Angka ini tertinggi di dunia, melampaui Filipina dan Afrika Selatan. Fakta digital ini jadi peluang besar untuk ekonomi, tapi juga tantangan untuk literasi dan keberlanjutan. Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Risiko Kesenjangan dan Literasi Digital

Meski terlihat menjanjikan, dominasi ponsel juga memperlihatkan sisi lain. Tidak semua wilayah di Indonesia memiliki infrastruktur internet memadai. Kawasan timur dan daerah pedesaan masih tertinggal dibanding kota besar.

Selain itu, perempuan muda (16–24 tahun) menjadi pengguna ponsel paling aktif dengan durasi 4 jam 44 menit per hari. Sementara laki-laki 25–44 tahun lebih banyak memakai komputer. Pola ini mengungkap kesenjangan demografis yang perlu dijembatani melalui literasi digital inklusif.

Literasi digital bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga kesadaran akan keamanan data, etika bermedia sosial, hingga kemampuan memilah informasi di tengah banjir konten. Tanpa itu, internet justru berisiko memperkuat polarisasi dan hoaks.

Jejak Karbon Dunia Digital

Ada sisi yang jarang disorot, dampak lingkungan. Semakin lama masyarakat online, semakin besar pula energi yang dikonsumsi pusat data dan infrastruktur jaringan.

Fenomena sehari-hari: dari generasi muda hingga profesional, ponsel jadi kawan utama untuk terkoneksi dengan dunia digital. Foto: Ilustrasi/ Fauxels/ Pexels.

Global e-Sustainability Initiative memperkirakan industri digital menyumbang sekitar 2–4% emisi karbon dunia. Jika tren penggunaan ponsel di Indonesia terus naik, beban energi dan emisi digital akan ikut meningkat.

Baca juga: 13 Juta Ponsel Dibuang Setiap Hari, ke Mana Semua Sampah itu Pergi?

Artinya, transformasi digital harus berjalan seiring dengan transisi energi bersih. Pusat data berbasis energi terbarukan, efisiensi jaringan, hingga desain aplikasi yang hemat energi menjadi kunci agar “Negara Ponsel” tidak menambah beban iklim.

Kebijakan Publik, Jalan ke Depan

Pemerintah, penyedia layanan internet, dan industri digital perlu melihat fenomena ini sebagai peluang sekaligus tantangan. Inklusi digital harus disertai kebijakan perlindungan data pribadi, penguatan literasi digital, dan dukungan pada infrastruktur hijau.

Baca juga: Indonesia Merosot di Peta Daya Saing Dunia, Sinyal Bahaya di Era Bonus Demografi

Investasi di sektor energi terbarukan juga harus berjalan paralel dengan ekspansi jaringan internet. Tanpa itu, keberhasilan digitalisasi bisa menjadi paradoks, yakni ekonomi tumbuh, tetapi lingkungan dan kualitas hidup masyarakat justru terancam. ***

  • Foto: Ilustrasi/ Cottonbro Studio/ Pexels – Fenomena generasi layar: mayoritas orang Indonesia kini mengakses internet lewat ponsel, membentuk wajah baru interaksi sosial dan budaya digital.
Bagikan