PEMBANGUNAN tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall di Pantai Utara (Pantura) Jawa kembali ditegaskan pemerintah sebagai proyek strategis nasional. Alasannya bukan semata soal infrastruktur, melainkan soal keberlangsungan ekonomi Indonesia.
Menteri PPN/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudi, mengungkapkan fakta yang mencemaskan. Dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, 56 persen disumbang Pulau Jawa, dan 70 persen di antaranya datang dari Pantura. “Artinya, 26 persen PDB nasional ada di aglomerasi Jakarta dan sekitarnya, serta 18 persen di Jakarta sendiri,” ujar Rachmat dalam Peluncuran Dokumen Kebijakan Perkotaan Nasional 2025, Senin (25/9/2025).
Dengan kontribusi sebesar itu, kerentanan Pantura akibat penurunan muka tanah dan ancaman banjir rob otomatis menjadi ancaman bagi perekonomian nasional. Giant Sea Wall, menurut Rachmat, adalah “upaya menyelamatkan Indonesia” dari risiko kehilangan pusat pertumbuhan.
Ekonomi Tergantung Pantura
Peta ekonomi Indonesia menunjukkan ketimpangan yang tajam. Pantura bukan hanya pusat perdagangan dan industri, tetapi juga simpul logistik nasional. Pelabuhan Tanjung Priok, jaringan jalan tol, hingga kawasan industri di Bekasi, Karawang, dan Cikarang, menopang rantai pasok dalam negeri sekaligus ekspor.
Baca juga: Indonesia Rencanakan Tanggul Laut 700 Km untuk Pertahankan Pesisir Utara Jawa
Namun, tanpa perlindungan, wilayah ini bisa lumpuh. Penurunan muka tanah di Jakarta misalnya, mencapai rata-rata 3–5 cm per tahun. Di beberapa titik, seperti Jakarta Utara, bahkan bisa lebih dalam. Jika dibiarkan, biaya ekonomi yang ditanggung negara akan jauh lebih besar ketimbang investasi membangun tanggul laut.
Model Baru Pembangunan Kota
Rachmat menekankan bahwa Giant Sea Wall bukan sekadar proyek fisik. Ini harus menjadi model baru pembangunan kota berkelanjutan di Indonesia. “Kita harus membangun kota-kota sesuai model kita sendiri. Indonesia itu unik, dengan 17 ribu pulau yang tampak terpisah tapi sebenarnya saling menghubungkan,” katanya.

Ia mendorong Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), agar menjadikan proyek ini sebagai momentum membangun aglomerasi bercorak khas Indonesia, kota yang ramah lingkungan, adaptif terhadap iklim, dan tahan terhadap risiko bencana.
Dari Jawa untuk Nusantara
Meski dimulai dari Jawa, proyek Giant Sea Wall diproyeksikan sebagai landmark pembangunan perkotaan nasional. Sejak 2011, kebijakan perkotaan sudah digagas, namun baru kali ini hadir koordinasi yang lebih kuat antar kementerian. Kehadiran Menko Infrastruktur diharapkan mempercepat sinkronisasi.
Baca juga: Alarm Kenaikan Air Laut, Kota-kota Pesisir di Ambang Bencana?
Bappenas melihat, jika proyek ini berhasil, maka akan menjadi contoh pembangunan perkotaan yang terintegrasi. Menggabungkan perlindungan lingkungan, ekonomi hijau, dan ketahanan iklim. Ke depan, pendekatan serupa bisa diterapkan di kota-kota pesisir lain, dari Semarang hingga Makassar, yang menghadapi ancaman serupa.
Menimbang Keberlanjutan
Para pengamat menilai keberhasilan Giant Sea Wall tidak hanya diukur dari ketahanan fisik tanggul, tetapi juga bagaimana proyek ini mampu menekan emisi karbon, mendorong energi terbarukan, dan menciptakan ruang publik yang inklusif. Dengan demikian, pembangunan tidak berhenti pada betonisasi pantai, melainkan memberi nilai tambah sosial, ekologis, dan ekonomi.
Tantangannya jelas besar. Mulai dari pendanaan, tata kelola, hingga koordinasi lintas sektor. Namun, di tengah ancaman iklim yang makin nyata, proyek ini bisa menjadi simbol keseriusan Indonesia menjaga pertumbuhan sekaligus keberlanjutan. ***
- Foto: Ilustrasi/ Ninh Tien Dat/ Pexels – Tanggul laut sebagai perlindungan pesisir. Giant Sea Wall di Pantura dipandang vital untuk menjaga ekonomi dan keberlanjutan.


