HARGA beras kembali menembus rekor. Di pasar tradisional, angkanya sudah mencapai Rp15.000 per kilogram, jauh di atas harga tiga tahun lalu yang masih di bawah Rp12.500. Kenaikan ini tidak sekadar isu konsumen, tapi menyentuh inti kebijakan pangan Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebut beras sebagai penyumbang utama inflasi nasional. Ia memperingatkan, bila strategi ketahanan pangan tetap bergantung pada satu komoditas ini, Indonesia berpotensi menghadapi hiperinflasi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.
“Beras paling sensitif terhadap inflasi. Ketika harga beras naik, dampaknya langsung terasa pada kelompok miskin di kota dan desa. Mereka paling rentan,” ujar Bhima dalam diskusi Polemik Harga Beras dan Kebijakan Pangan di Tengah Krisis Iklim, Selasa (16/9/2025).
Kebijakan yang Terlalu Sempit
Menurut Bhima, perspektif pemerintah soal ketahanan pangan terlalu sempit. Ketahanan pangan seolah selalu diartikan sebagai cadangan beras. Padahal, sejak 2022 harga beras tidak pernah benar-benar terkendali, meski pemerintah terus mengklaim surplus.
Baca juga: Ancaman Monokultur, Keanekaragaman Pangan Dunia di Ujung Tanduk
Program food estate pun tak memberi solusi. “Ambil contoh di Merauke, Papua. Meski ada proyek besar, harga beras tetap naik,” tegasnya.

Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya impor bahan pangan, produk peternakan, dan pupuk kimia sejak 2012 hingga 2024. Ironisnya, alih-alih memperkuat produksi dalam negeri, ketergantungan pada impor justru semakin besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan tren penurunan luas panen padi sejak 2021, terutama di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Krisis Iklim dan Proyek Strategis
Faktor iklim memperberat situasi. Variabilitas cuaca pascapandemi membuat produktivitas pertanian semakin tidak menentu. Di sisi lain, proyek strategis nasional (PSN) turut menggerus lahan pangan.
Baca juga: Cuaca Kacau, Pangan Terancam: Indonesia Butuh Adaptasi Iklim
Bhima menyoroti fenomena di Maluku Utara dan Pulau Obi. Anak-anak muda lebih memilih bekerja di smelter ketimbang menggarap lahan. “Kita tidak bisa makan nikel. Ketergantungan hanya pada beras akan menimbulkan krisis baru,” ucapnya, bernada sarkastik.
Diversifikasi Sebagai Jalan Keluar
Solusi yang ditawarkan Bhima adalah diversifikasi pangan. Wilayah timur Indonesia menyimpan potensi besar pangan lokal yang selama ini diabaikan. Ubi, sagu, jagung, hingga tanaman pangan restoratif bisa menjadi alternatif.
Baca juga: Krisis Iklim Diam-diam Menggerus Nutrisi Pangan Kita
Konsep pangan restoratif yang ia maksud bukan hanya menambah keragaman menu, tetapi juga menjaga ekosistem. Beberapa tanaman lokal membutuhkan pohon peneduh besar sehingga keberadaannya bisa melestarikan hutan, bukan malah membuka lahan baru.
“Ketahanan pangan tidak boleh lagi dipusatkan pada beras. Diversifikasi memberi peluang mengurangi inflasi, menekan kemiskinan, dan menjaga alam,” pungkas Bhima. ***
- Foto: Ilustrasi/ Son Hoa Nguyen/ Pexels – Petani memanen padi di sawah. Beras masih menjadi komoditas paling sensitif terhadap inflasi di Indonesia, sementara diversifikasi pangan terus terabaikan.


