PEMANASAN global kian tak terkendali. Analisis terbaru menunjukkan bahwa membatasi kenaikan suhu bumi hingga di bawah 2°C bukan lagi skenario yang realistis.
Ilmuwan iklim dari Universitas Columbia, James Hansen, menyatakan bahwa iklim bumi lebih sensitif terhadap emisi gas rumah kaca daripada yang selama ini diperkirakan. Penelitian yang ia pimpin mengungkap bahwa suhu global akan tetap berada di atas 1,5°C dalam beberapa tahun ke depan dan berpotensi mencapai 2°C pada 2045.
“Skenario membatasi pemanasan di bawah 2°C kini mustahil,” ujar Hansen, dikutip dari Science Alert (8/2/2025).
Baca juga: Krisis Iklim, Mengapa Kenaikan 2 Derajat Celsius Bisa Mengubah Dunia?
Namun, pernyataan ini menuai perdebatan. Valerie Masson-Delmotte, mantan wakil ketua panel iklim PBB, meragukan kesimpulan Hansen. Ia menilai penelitian tersebut belum cukup kuat karena tidak diterbitkan dalam jurnal sains iklim dan mengandung hipotesis yang tidak konsisten dengan data yang tersedia.
Target Perjanjian Paris Kian Jauh
Sejak Perjanjian Paris 2015, negara-negara berkomitmen menekan pemanasan global di bawah 1,5°C. Ambang batas ini dianggap penting untuk mencegah bencana iklim besar seperti:
- Gangguan sistem sirkulasi laut global
- Pencairan permafrost secara tiba-tiba
- Runtuhnya terumbu karang tropis
Baca juga: PBB: Krisis Iklim Semakin Parah, Dunia Harus Bertindak Sekarang
Namun, data sistem pemantauan iklim Uni Eropa, Copernicus, mengungkap bahwa suhu global telah melampaui 1,5°C selama dua tahun terakhir. Jika kenaikan ini mencapai 2°C, dampaknya diprediksi lebih luas, termasuk pencairan es besar-besaran di Kutub Utara dan naiknya permukaan laut hingga beberapa meter.

Atlantik Bisa Kehilangan Arus Penting
Hansen dan timnya juga memperingatkan bahwa pemanasan global akan mempercepat pencairan es di Kutub Utara. Hal ini bisa memicu penutupan Arus Sirkulasi Terbalik Meridian Atlantik (Atlantic Meridional Overturning Circulation / AMOC) dalam 20–30 tahun ke depan.
AMOC adalah arus laut yang membawa kehangatan dan nutrisi ke berbagai wilayah dunia. Jika arus ini berhenti, dampaknya bisa sangat serius:
- Perubahan pola cuaca ekstrem di Eropa dan Amerika Utara
- Musim hujan dan kekeringan ekstrem di berbagai belahan dunia
- Kehancuran ekosistem laut akibat perubahan distribusi nutrisi
Hansen menyebut potensi penutupan AMOC sebagai “titik tanpa jalan kembali” (point of no return).
Baca juga: Alarm Kenaikan Air Laut, Kota-kota Pesisir di Ambang Bencana?
Apa Implikasinya bagi Indonesia?
Indonesia, sebagai negara kepulauan, menghadapi ancaman besar dari perubahan iklim. Jika suhu global naik hingga 2°C, beberapa dampak yang bisa terjadi di Indonesia meliputi:
- Kenaikan Permukaan Laut
Kota-kota pesisir seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya berisiko mengalami banjir rob yang lebih parah. - Perubahan Pola Hujan
Musim hujan semakin tidak terduga, meningkatkan risiko banjir bandang dan kekeringan berkepanjangan. - Ancaman pada Terumbu Karang
Pemanasan laut dan pengasaman air laut mempercepat pemutihan terumbu karang, mengancam sektor perikanan dan pariwisata bahari. - Dampak pada Ketahanan Pangan
Perubahan suhu dan pola hujan berpengaruh pada produksi beras dan komoditas pertanian lainnya.
Baca juga: Kerugian Ekonomi Akibat Perubahan Iklim, Ancaman Nyata bagi Indonesia
Saatnya Bertindak Lebih Serius
Temuan ini memang suram, tetapi juga menjadi pengingat bahwa kebijakan iklim saat ini belum cukup untuk menahan laju pemanasan global. Hansen dan timnya menekankan pentingnya keterbukaan dalam menghadapi krisis iklim dan mendesak tindakan yang lebih agresif.
Bagi Indonesia, ini saatnya mempercepat transisi ke energi bersih, memperkuat kebijakan adaptasi iklim, dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan.
Kita masih punya waktu, tapi tidak banyak. ***
- Foto: Ilustrasi/ Guillaume Falco/ Pexels.