Menanti Kartu Hijau UNESCO, Danau Toba di Ujung Penilaian

SETELAH lima tahun menyandang status sebagai UNESCO Global Geopark, kawasan Kaldera Toba kini berada di persimpangan penting. Peninjauan kembali atau revalidasi status taman bumi ini akan berlangsung pada 21–25 Juli 2025, dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengaku optimistis mendapat “kartu hijau” dari UNESCO. Kartu hijau menandai pengelolaan kawasan dinilai baik dan berkelanjutan sesuai standar internasional.

Namun, jalan menuju pengakuan penuh ini tidak semulus danau yang tenang. Dua tahun lalu, UNESCO mengeluarkan peringatan dalam bentuk “kartu kuning” bagi Geopark Kaldera Toba. Dalam rapat di Maroko (September 2023), UNESCO menilai pengelolaan kawasan masih belum memenuhi standar global. Kaldera Toba tidak sendiri; beberapa kawasan lain seperti Gua Zhijindong di Tiongkok, Luberon di Prancis, hingga Madonie di Italia juga menerima catatan serupa.

Toba, di Mana Alam dan Budaya Bertemu

Sebagai kaldera purba hasil letusan supervolcano 74 ribu tahun lalu, kawasan Danau Toba menyimpan jejak geologi kelas dunia. Tapi status geopark bukan sekadar tentang bebatuan. UNESCO juga menilai bagaimana warisan geologi itu diterjemahkan dalam narasi edukatif, dijaga kelestariannya, dan terhubung dengan identitas budaya lokal.

Baca juga: Geopark Toba Terancam Dicoret UNESCO, Citra Pariwisata Indonesia Dipertaruhkan

General Manager Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark (BP TCUGGp), Azizul Kholis, menyatakan hampir semua dari empat rekomendasi UNESCO telah dipenuhi. Mulai dari penguatan interpretasi warisan geologi, pendataan warisan tak benda, hingga pengembangan jejaring pelatihan dan kemitraan dengan masyarakat.

“Persiapan sudah cukup matang. Kita optimistis hasilnya positif,” ujarnya. Ia menekankan, kerja lintas sektor antara pemerintah daerah, pengelola wisata, akademisi, dan masyarakat lokal menjadi kunci.

Indahnya Kaldera Toba, Sumatra Utara. Siapkah kawasan ini kembali dipatenkan UNESCO sebagai Geopark kelas dunia? Foto: sumateratrip.

Dari Pemerintah ke Akar Rumput

Sekretaris Daerah Provinsi Sumut, Togap Simangunsong, menegaskan pentingnya partisipasi semua pihak. “Kalau kartu hijau sudah kita terima, itu belum selesai. Justru tanggung jawab kita makin besar,” ucapnya. Ia mendorong semua pemerintah kabupaten di sekitar danau untuk aktif menjaga kebersihan dan keberlanjutan kawasan.

Baca juga: Geopark Toba di Persimpangan, Menjaga Warisan atau Kehilangan Status Dunia?

Togap juga mengingatkan, banyak “hal kecil” yang kerap luput, tapi bisa berpengaruh besar dalam penilaian. Misalnya, soal tata kelola sampah, papan informasi situs geologi, hingga kapasitas pemandu wisata lokal dalam menjelaskan nilai ilmiah kawasan.

Geopark Bukan Sekadar Label

Dalam konteks keberlanjutan, status geopark sejatinya bukan hanya pengakuan. Ini adalah janji bersama untuk menjaga warisan bumi dan budaya lintas generasi. Di tengah tekanan pariwisata massal dan perubahan iklim, Kaldera Toba dituntut membuktikan bahwa pelestarian dan pengembangan ekonomi bisa berjalan beriringan.

Baca juga: Dieng, Keajaiban di Atas Awan yang Kini Jadi Geopark Nasional

Jika kartu hijau berhasil dikantongi, Indonesia akan mendapat suntikan legitimasi global dalam pengelolaan taman bumi. Tapi lebih dari itu, Danau Toba bisa menjadi model tata kelola berkelanjutan berbasis kearifan lokal, ilmu pengetahuan, dan kolaborasi.

Kini semua mata tertuju ke Toba. Apakah kawasan ini siap menjawab tantangan dan memperkuat posisinya di peta dunia sebagai contoh geopark masa depan? ***

  • Foto: Torch – Panorama Kaldera Toba, salah satu warisan geologi dunia yang sedang menanti revalidasi status UNESCO Global Geopark pada Juli 2025.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *