Saat Air Pegunungan Hanyalah Mitos Botol Plastik

KUNJUNGAN Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ke salah satu pabrik air mineral di Subang mendadak viral. Bukan karena protokol atau sambutan resmi, melainkan karena momen ketika Dedi kaget mendengar sumber air baku produk air minum dalam kemasan (AMDK) ternyata bukan dari mata air pegunungan, melainkan dari air tanah.

Pernyataan terbuka Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq kemudian mempertegas keresahan itu. Ia menyebut sebagian besar produk air kemasan yang beredar di Indonesia selama ini bergantung pada ekstraksi air tanah.

“Belum ada satupun minuman kemasan yang menggunakan air permukaan secara berkelanjutan. Hanya untuk pricing-nya, iya,” ujar Hanif Faisol Nurofiq seperti dikutip CNBC Indonesia (25/10/2025) dalam forum Mindialogue.

Antara Label dan Realita

Label “air pegunungan” yang selama ini menjadi daya jual utama ternyata lebih banyak berfungsi sebagai narasi pemasaran ketimbang cerminan sumber air sebenarnya. Menurut Hanif, tidak satu pun perusahaan AMDK di Indonesia yang telah mengimplementasikan sistem konservasi air permukaan secara berkelanjutan.

Baca juga: Greenwashing Bisa Picu Denda 15 Juta Dolar AS

Padahal, ekstraksi air tanah dalam volume besar memiliki konsekuensi ekologis jangka panjang. “Kalau kita terus mengambil air tanah tanpa konservasi, suatu hari suplai air kita akan terbatas,” tegasnya.

Air Tanah yang Tak Mudah Pulih

Air tanah, berbeda dengan air permukaan seperti sungai atau danau, memiliki proses regenerasi yang sangat lambat. Laju rembesannya hanya sekitar satu meter per hari. Artinya, jika dikuras terus-menerus tanpa kontrol, butuh waktu puluhan tahun bagi alam untuk menyeimbangkannya kembali.

Baca juga: 1 Triliun Ton Air Hilang, Alarm Bahaya untuk Masa Depan Planet

Pemandangan air terjun di kawasan pegunungan. Citra “air pegunungan” sering digunakan dalam pemasaran air minum kemasan, meski sebagian besar produknya masih bergantung pada sumber air tanah. Foto: Ilustrasi/ Johannes Plenio/ Pexels.

Hanif menilai, konsep konservasi yang digaungkan banyak perusahaan baru sebatas jargon. “Masih sebatas drama,” katanya sinis. Ia menekankan pentingnya investasi konservasi jangka panjang yang bukan hanya kosmetik, melainkan menjadi bagian dari strategi bisnis inti.

Klarifikasi dari Danone Aqua

Merespons sorotan publik, pihak Danone Aqua menyampaikan klarifikasi. Corporate Communication Director Danone Aqua, Arif Mujahidin, menjelaskan bahwa sumber air pabrik di Subang memang berasal dari aquifer — lapisan air tanah di kawasan pegunungan.

“Pengambilannya menggunakan pipa tertutup untuk menjaga kualitas air dari potensi cemaran,” ujar Arif Mujahidin seperti dikutip CNBC Indonesia (23/10/2025).

Baca juga: Bali Awali Perang Plastik dari Botol Air

Ia menambahkan, air dari aquifer pegunungan memiliki karakter hidrologi berbeda dibandingkan dengan air tanah di dataran rendah. Namun, klarifikasi tersebut belum sepenuhnya menjawab kekhawatiran publik mengenai praktik konservasi dan keberlanjutan sumber air.

Mendesak, Regulasi dan Transparansi

Kasus ini membuka kembali perdebatan tentang tata kelola sumber daya air di Indonesia. Di tengah ancaman krisis air bersih dan peningkatan populasi, eksploitasi air tanah oleh industri menjadi isu strategis yang membutuhkan regulasi lebih ketat dan transparansi publik.

Baca juga: Krisis Air di Indonesia, Jawa dan Bali-Nusa Tenggara Masuki Fase Kritis

Konsumen berhak tahu dari mana air yang mereka minum berasal, dan sejauh mana perusahaan menjaga keseimbangannya dengan alam. Tanpa transparansi, label “air pegunungan” akan terus menjadi paradoks di tengah krisis air yang kian nyata. ***

Foto:  Jan van der Wolf/ Pexels Barisan botol air minum dalam kemasan (AMDK) di salah satu fasilitas produksi. Sebagian besar produk air kemasan di Indonesia masih mengandalkan air tanah sebagai sumber utamanya, bukan air permukaan seperti yang sering diklaim di label.

Bagikan